Mohon tunggu...
A. Dita Febriyanti
A. Dita Febriyanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Gula Jawa; coklat, manis, alami, mudah larut.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penduduk dan Lingkungan

15 Januari 2011   10:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:34 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Adanya pertumbuhan penduduk merupakan ancaman besar bagi negara berkembang khususnya Indonesia. Salah satu ancaman tersebut adalah masalah lingkungan. Perlu kita ketahui bahwa lingkungan merupakan tempat bagi manusia untuk bertahan hidup dimana disanalah tempat mereka memperoleh energi, lahan, dan sumber daya untuk kelangsungan hidupnya. Namun kenyataannya sekarang, laju pertumbuhan penduduk yang tumbuh dengan cepat tiap tahunnya menyebabkan kemampuan bumi dan lingkungan kita untuk memperbaiki sumber daya yang ada semakin berkurang.
Coba kita bayangkan, setiap tahunnya laju pertumbuhan penduduk di Indonesia semakin meningkat. Apabila laju pertumbuhan penduduk tinggi maka kebutuhan akan bahan pangan, lahan pertanian, dan lahan permukiman juga semakin banyak mengingat tingginya laju pertumbuhan penduduk tersebut. Lalu dari manakah kita memperoleh bahan pangan sedangkan lahan untuk pertanian dan perumahan saja terbatas? Ujung-ujungnya untuk memenuhi kebutuhan akan bahan pangan ini, cara alternatif yang digunakan adalah mengkonversi hutan sebagai lahan pertanian. Padahal kita tahu bahwa konversi hutan menjadi lahan pertanian tersebut dapat menyebabkan erosi yang pada akhirnya mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air sehingga menambah resiko bahaya banjir.
Adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang lebih dikenal dengan urbanisasi ini perlu dicermati lagi. Sebut saja Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia yang juga merupakan kota metropolitan. Jakarta merupakan sasaran empuk bagi para pencari kerja dari pedesaaan. Mereka memilih untuk pindah ke kota karena dirasa di kota lebih memiliiki teknologi yang canggih, sarana dan prasarana yang lebih memadai. Selain itu penduduk desa selalu dibombardir dengan kehidupan serba wah yang ada di kota besar sehingga mereka semakin terdorong untuk meninggalkan desanya. Berdasarkan data statistik disebutkan bahwa penduduk Jakarta pada tahun 1961 sebanyak 2,9 juta jiwa dan melonjak menjadi 4,55 juta jiwa 10 tahun kemudian. Pada tahun 1980 bertambah menjadi 6,50 juta jiwa dan melonjak lagi menjadi 8,22 juta jiwa pada tahun 1990. Yang menarik adalah, dalam 10 tahun antara 1990-2000 lalu, penduduk Jakarta hanya bertambah 125.373 jiwa sehingga menjadi 8,38 juta jiwa. Data tahun 2007 menyebutkan bahwa Jakarta memiliki jumlah penduduk 8,6 juta jiwa. Dari sini kita tahu bahwa jumlah penduduk kota Jakarta mengalami peningkatan yang signifikan. Pada akhirnya peningkatan jumlah penduduk ini akan mengakibatkan masalah yang tidak pernah habis, sebut saja masalah lingkungan yang dapat berakibat fatal. Angka populasi penduduk yang tinggi apabila tidak dibarengi dengan lahan pangan dan energi yang cukup akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara supply dan demandyang bisa menyebabkan harga menjadi mahal, dalam hal ini harga bahan pangan dan harga lahan baik untuk pertanian maupun perumahan. Mahalnya harga-harga tersebut membuat penduduk sebisa mungkin memutar otak untuk memenuhi kebutuhan akan bahan pangan. Hal inilah sebenarnya yang menjadi ancaman bagi kota besar-besar seperti Jakarta. Laju pertumbuhan penduduk tinggi, kebutuhan akan bahan pangan juga tinggi namun ketersediaan lahan pertanian yang ada terbatas. Justru yang ada akibat tingginya laju pertumbuhan penduduk menimbulkan masalah yang kompleks khususnya bagi lingkungan itu sendiri. Banyaknya penduduk menyebabkan lingkungan tidak layak huni. Dapat kita ambil contoh banyak penduduk Jakarta kalangan menengah ke bawah yang memilih untuk tinggal di kolong jembatan karena kemampuan finansial mereka untuk membeli lahan, ada pula beberapa penduduk yang menggunakan lahan pemakaman sebagai tempat mereka tinggal. Tentunya hal ini dapat merusak estetika dari lingkungan itu sendiri. Peruntukan lahan yang tidak digunakan sebagaimana mestinya sangat tidak wajar terutama lahan pemakaman yang merupakan rumah masa depan bagi kita.
Kalau sudah begini apakah kita masih ingin punya anak banyak? Lantas, bagaimana dengan nasib anak cucu kita kalau lahan yang ada saja sudah tidak tersedia, krisis pangan semakin menjadi, dan lingkungan tercemar? Bagaimana kita mau menghemat makanan kalau populasi terus saja berkembang?
Banyak orang bilang untuk menekan tingginya laju pertumbuhan penduduk ini melalui program Keluarga Berencana (KB) atau kalau tidak mau pusing soal program KB, paling tidak memakai kondom dan apabila malu untuk membeli kondom di tempat publik sekarang sudah ada transaksi jual beli kondom lewat dunia maya sehingga tidak perlu malu lagi untuk membeli di toko. Sebenarnya hal ini merupakan persoalan klasik yang selalu diambangkan karena berbenturan dengan etika dan moral agama. Membingungkan memang, tapi masalahnya sangat nyata, bahwa musuh manusia adalah dirinya sendiri. Oleh karena itu ada baiknya  mulai sekarang kita memikirkan masa depan bagi anak cucu kita.


Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun