Mohon tunggu...
Atikah Djunaedi
Atikah Djunaedi Mohon Tunggu... Guru - Freelance Translator | Certified German Teacher |

Ich schreibe was ich schreiben moechte.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan dengan Satu Nama

24 Januari 2019   12:45 Diperbarui: 24 Januari 2019   12:54 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu waktu saya pernah terima inbox di Facebook yang menanyakan apakah saya teman dia waktu sekolah dulu, karena dia merasa tidak yakin dengan nama yang dia baca sementara dia masih hafal wajah saya .

Ya... teman lama saya mungkin agak kesulitan mengenali saya apabila dilihat dari nama, karena sekarang nama saya ada nama belakangnya. Dan sebagian orang mengira bahwa nama belakang saya adalah nama suami...oh tentu tidak! Saya tidak akan menisbatkan nama suami di belakang nama saya.

Sejak lahir nama saya adalah Atikah, satu suku kata saja tidak ada nama depan dan nama belakang. Nama tersebut diberikan oleh kakek saya juga yang mungkin bertujuan supaya gampang diingat. Seluruh dokumen saya dari SD sampai lulus Perguruan Tinggi tidak ada masalah, semua ijazah tertulis "Atikah". 

Pada waktu pembuatan paspor pertama ditahun 1998, pihak imigrasi tidak protes dan tidak meminta untuk menambahkan nama belakang meskipun pernah menanyakan hal tersebut. Kesulitan mulai terasa ketika saya mengajukan Visa ke Kedubes Jerman, saya harus bernarasi kenapa nama saya hanya satu kata . 

Petugas pencatatan nama di Kedubes berdalih bahwa system komputer mereka mengharuskan ada "nama belakang", akhirnya dia mengakhiri polemik antara saya dan dia dengan membubuhkan tanda strip (-) pada kolom "Nama Belakang" . Maka jadilah visa saya dengan satu nama !

Tetapi, ternyata polemik  "satu nama" masih terus berlanjut ketika saya sampai di Jerman dan harus mengurus izin tinggal di Jerman, sama seperti di kedubes, mereka terheran-heran kenapa saya hanya mempunyai "satu nama" saja. 

Saya pun bercerita bahwa hal tersebut wajar bagi kami di Indonesia, banyak orang (kebanyakan orang lama dan orang daerah ) yang hanya mempunyai "satu nama". 

Lantas mereka bertanya, lalu bagaimana untuk membedakan "Atikah" yang satu dengan "Atikah" yang lain  atau bagaimana kalau tukang pos mencari alamat, katanya. Dan saya menjawab, adakalanya kami memakai tambahan "bin atau binti" lalu diikuti dengan nama Ayah. 

Jawaban tersebut sebetulnya asal jawab saja dan terasa tidak begitu berbobot juga sih, karena kalau dicerna lebih lanjut , betul juga pertanyaan orang imigrasi tersebut, bahwa akan muncul beberapa permasalahan yang diakibatkan dengan masalah "satu nama ".

Setelah kami berdiskusi sedikit mengenai asal-usul nama, akhirnya petugas imigrasi pun membubuhkan lagi-lagi tanda (-) di kolom "Nama Belakang".  Dan dari situ pula saya mendapat julukan "Perempuan Dengan Satu Nama/Die Frau mit nur einen Namen" dari kantor Imigrasi, dan setiap kali saya ada urusan dengan imigrasi,  petugasnya langsung  "ngeh" ooooh ini ya "Die Frau mit nur einen Namen", katanya sambal tersenyum .

Dari pengalaman tersebut, sekembalinya saya ke Indonesia, saya mulai mempublikasikan nama baru menjadi "Atikah Djunaedi", dimana nama Djunaedi adalah nama ayah saya, yang kebetulan juga hanya punya satu nama (Ach...!). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun