Mohon tunggu...
Alex Pandang
Alex Pandang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer

Freelance Writer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perihal Nama

18 Mei 2021   23:36 Diperbarui: 18 Mei 2021   23:43 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Harus diakui kita semua punya kebiasaan "lucu" dalam memberi nama yang panjang-panjang untuk anak-anak kita. Kita seakan "malas tahu" ketika anak-anak itu dewasa nanti, kolom nama yang disediakan negara pada lembar-lembar formal justru membuat anak-anak kita frustasi, sebab mereka akan merasa harga dirinya terinjak-injak karena terpaksa harus menyingkat nama mereka yang begitu keramat menurut orang tua. 

Sejak kecil orang tua telah berpesan bahwa nama mereka itu terhormat, "Kau menggantikan nama kakek." Nama Nenek, atau Nama leluhur yang berkharisma dalam garis keluarga. Kata orang tua jaman dulu kalau nama diganti sembarang bisa kena sakit atau bahkan kutukan. Sayangnya, sejak kecil Stepanus tidak pernah sakit apabila dipanggil Nus. Stepen tidak keberatan dipanggil Epen. Begitu juga Martha, cukup bangga dipanggil Ata. Atau Magdalena yang berbunga-bunga dan tetap sehat walafiat ketika dipanggil Lena.

Di Sumba tanah kelahiran saya juga tidak kalah. Nama semacam "Umbu Kahumbu Nggiku Pada Ndjara Hamu" (hanya contoh saja) baik-baik saja apabila dipanggil Umbu. Begitu juga nama Rambu Kaita Niwa Lepir (lagi-lagi nama contoh saja) cukup sumringah dan selalu sehat ketika dipangggil Rambu. Malah, yang paling gila di tempat saya, anak-anak pada jaman akhir 90'an justru berbangga dengan nama samaran. 

Apa mungkin ini bentuk "pemberontakan anak-anak" kita terhadap persoalan "Nama" pemberian orang tua yang lambat disadari? Bagaimana tidak nama sekeren Martinus Umbu Tay cukup diganti "BRAD", atau Linus yang tiba-tiba merasa gagah ketika teman-temannya memberi nama samaran "SMITH". Bahkan dulu teman saya namanya Yohanes, tapi dia selalu meminta kami memanggilnya "DEWA" saja, dia justru "Sakit" kalau tetap dipanggil Yohanes.

Tiba-tiba saya merasa ini sangat menggelikan. Perihal nama seolah memberi isyarat bahwa kita memang hidup di tengah lingkungan serta kebudayaan yang suka omong panjang lebar padahal intinya cuma sepotong. Tulis ini itu panjang lebar padahal masalahnya juga cuma sepotong. Justru yang panjang-panjanglah yang bikin orang sakit! Saya tergelitik, rupanya dari perihal nama kita bisa belajar banyak hal dan juga bisa menertawakan banyak hal. Sebegitu konyolnya kita.

Tidak jauh beda dengan tulisan ini, padahal saya cuma mau bilang kalau nama lengkap saya juga adalah Alexander Cornelis Lani Pandang. Dan sejak kecil saya sudah terbiasa di panggil Leke, Lexi atau Alex. Saya keberatan kalau nama saya dipanggil secara lengkap. Saya masih bertanya-tanya apa untungnya bagi negara menanyakan nama lengkap seseorang di setiap lembaran formal?

Kalau mau ketawa jangan lupa lepas masker terlebih dahulu Salam Sehat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun