Mohon tunggu...
Aymara Ramdani
Aymara Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - Orang yang hanya tahu, bahwa orang hidup jangan mengingkari hati nurani

Sebebas Camar Kau Berteriak Setabah Nelayan Menembus Badai Seiklas Karang Menunggu Ombak Seperti Lautan Engkau Bersikap Sang Petualangan Iwan Fals

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selamat Datang, Kebodohan: Etika, Moral dan Sikap dalam Menghadapi Corona

30 Juli 2020   15:25 Diperbarui: 30 Juli 2020   15:30 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada awal tulisan ini saya akan mengutip tulisan "ikal" Andrea Hirata dalam novelnya yang fenomenal Tetralogi Laskar pelangi.

"Kebodohan berbentuk seperti asap, uap air, kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berangkatlah dari tempat di mana saja di Planet biru ini dengan menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertical, jangan pernah sekali pun berhenti.

"Maka apa bila kita tanyakan sesuatu kepada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan meracau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam alas an, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagian lagi terpaku, mulutnya ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracuanan asap tebal kebodohan yang menepul di kepala mereka"

Bagus sekali Andrea Hirata mendeskripsikan tentang KEBODOHAN. Dan sekarang ini menurut saya, kita semua sedang terjebak dalam asap tebal kebodohan itu. Saat ini perhatian khusus kita adalah pandemi virus corona yang tingkat penyeberannya begitu cepat, dan menimbulkan angka kematian yang tinggi di dunia.

Saya hanya akan berbicara tentang kondisi yang diakibatkan oleh virus ini di Indonesia saja. Angka pasti dari yang terkonfirmasi virus corona ini adalah mencapai 102.051 dari jumlah tersebut 4.901 orang (4,80%) meninggal dunia dan dinyatakan sembuh sebanyak 60.539 (59,43%) orang dan pasien yang masih dalam perawatan sebanyak 36.611 (35,88%) (28 Juli 2020) kompas.com.

Begitu dahsyatnya tingkat kematian yang ditimbulkan oleh virus ini, akhirnya menimbulkan jutaan pertanyaan di kepala saya. Kenapa? Karena begitu banyaknya kabar-kabar yang beredar, baik di media sosial atau pun di media televisi dan juga kabar-kabar yang saya dapatkan di lapangan (berita dari obrolan ringan).

Adanya anggota keluarga yang mengambil paksa jenazah yang kata pihat RS disebabkan virus Covid-19 ini, namun anggota keluarganya tak percaya dengan itu semua. Coba kita lihat dan baca beritanya di Makasar, di Mataram, Ambon, Surabaya, Bekasi, Palangkaraya. Dan mungkin masih banyak lagi pengambilan paksa jenazah ini. Hal ini disebabkan karena krisis kepercayaan kepada pihak RS yang notabene adalah rujukan terakhir dalam menentukan sebuah keputusan.

Kenapa hal ini terjadi? Krisis kepercayaan ini muncul karena ada kabar bahwa pihak RS yang memberikan stigma positif corona pasien, akan mendapatkan insenstif tertentu dari Pemerintah. Hal ini yang kemudian langsung ditanyakan oleh anggota DPR. Bahkan yang menyeruak dan  lebih gila lagi adalah pengubahan kasus negative menjadi kasus positif covid-19. Sangat kejam ini.

Saya akan bercerita tentang keadaan kakak saya yang positif corona. Kehidupan yang awalnya normal saja langsung berubah drastis dan seperti terjun bebas dalam menjalani kehidupannya. Kakak saya adalah perawat di RS Swasta disalah satu kota di Jawa Barat. Test Swab dilakukan, dan dinyatakan positif. Apa yang terjadi kawan, setelah vonis tersebut terhadap kehidupan kakak dan keluarga saya. Gelap, pekat dan kelam dan sepertinya dunia ini runtuh. Semua anggota keluarganya di test Swab dan hasilnya adalah negative. Alhamdulillah.

Tapi, kakak saya yang perawat itu menjalani isolasi di RSUD, awalnya 14 hari kemudian di tambah 7 hari lagi. Total 21 hari ia lakukan isolasi di RS dan mentalnya yang diserang kawan. Entah karena dia perawat dan sering berkonsultasi dengan dokter, hinggga ia begitu hati-hati dalam menjalani isolasi ini. Ia tidak ada gejala sama sekali. Ia tidak sakit. Ia seperti kita yang sehat. Tetapi vonis positif corona itu membuat ia seperti kehilangan dirinya. Ia tidak bisa hidup normal untuk dirinya sendiri.

Oh ya, apakah dalam isolasi di RS pasien positif covid 19 ini sendirian didalam ruangan yang besar? Apakah memang demikian. Ia sendirian di ruangan di RS, tidak ada fasilitas lainnya. Sendirian dan hanya dia dan pikiran dia saja. Ini sangat membahayakan sebenarnya untuk dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun