Tak ada yang mampu menggambarkan perasaan para perantau yang tengah mudik ke kampung halaman. Perasaan itu tersembunyi di antara gerbong-gerbong kereta, di celah-celah kursi duduk dan bagasi yang berisi barang-barang bawaan.
Rasa senang bercampur dengan ketidaksabaran untuk sampai ke tujuan malu-malu menyelinap di setiap polah tingkah para pemudik, tak terkecuali saya. Padahal sudah puluhan tahun mudik Jakarta - Semarang tapi tetap saja saya berdebar-debar dan excited setiap kali berada dalam perjalanan mudik lebaran.
Kalau dihitung-hitung selama 10 tahun merantau hampir 95 persen setiap mudik kami selalu naik kereta. Moda transportasi ini memang paling tepat dan nyaman untuk penderita asam lambung seperti saya.
Mungkin bagi orang lain kereta api hanyalah salah satu moda transportasi pilihan untuk mudik tapi tidak bagi saya. Naik kereta api adalah keharusan. Â Kalau tidak begitu lalu bagaimana? Mau naik pesawat, kantong sudah mengibarkan bendera putih, mau naik mobil atau bus bagi saya sudah seperti siksaan sementara kalau naik motor itu sama saja dengan nekat karena terlalu berisiko.
Alasan itulah yang membuat saya dan suami selalu menyiapkan waktu untuk war tiket ketika ramadan. Pokoknya harus dapat karena kalau tidak bisa-bisa gagal berlebaran di kampung halaman! begitu pikir saya.
Perkara war tiket bukan hal asing bagi kami para pemudik dengan kereta api. Segala hal disiapkan, mulai dari informasi pembukaan tiket, data diri, kuota, koneksi internet hingga perangkat juga tak ketinggalan.
Tentu saya ingat betul bagaimana suasana nge-war tiket. Kami begadang dengan segala macam persiapan. Rasanya sudah seperti hidup dan mati, deg deg-an iya, khawatir iya, gemetaran iya. Kalau sudah berhasil, senangnya luar biasa tapi kalau sampai tidak kebagian, sedihnya tak ketulungan.
Ini bukan cuma soal tiket tapi juga soal hilangnya harapan untuk pulang ke kampung halaman serta kesempatan untuk berkumpul di hari lebaran dengan keluarga, sanak saudara dan kawan-kawan.
Mudik ke kampung halaman ibarat muara dari setiap lelah yang terkumpul selama masa perantauan. Tak heran kalau gagal rasanya seperti  sia-sia bekerja dan menabung selama setahun di perantauan.Â
Pernah kehabisan tiket? tentu saja pernah. Kala itu tahun 2022, tahun di mana pandemi mulai berakhir dan pintu mudik mulai dibuka kembali oleh pemerintah. Bisa terbayang bagaimana kami sudah menahan rindu akibat tak mudik lebaran selama beberapa tahun, tapi di sisi lain kami malah kehabisan tiket.
Rasa sakitnya tentu berlipat-lipat, melebihi rasa sakit  ditolak gebetan maupun pengajuan kredit KPR, hahaha. Rasanya seperti campuran antara sedih dan bersalah karena terbayang muka orang tua di kampung yang sudah berharap kami bisa pulang.