Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Membunuh Waktu di "Commuter Line"

8 Januari 2018   11:01 Diperbarui: 8 Januari 2018   11:38 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Naik Commuter Line atau KRL adalah salah satu keinginan saya setelah pindah ke Jakarta. Saya memang cupu dengan model transportasi yang satu ini karena di kota asal saya Semarang tidak ada. Saya sering melihat kereta jenis ini di beberapa film, iklan televisi dan buku bacaan.  Rasanya terlihat keren ketika bisa mengaitkan jari pada pegangan atau hand holder di KRL.

Tak disangka, suami saya yang lama tinggal di Jakarta pun belum pernah sekalipun menaikinya. Akhirnya dengan sedikit keterpaksaan, dia mau mengantar saya naik KRL. Kala itu kami bertolak dari Stasiun Pocin menuju ke Stasiun Tanah Abang.

Saking senang dan tidak sabarannya, saya bergerak meninggalkan suami yang masih tertinggal di parkiran. Saya menikmati kebingungan ketika pertama kali menggunakan Commuter Line Ticket Vending Machine, mengantri tap kartu dan menunggu kereta tiba. Awalnya saya bingung kereta mana yang harus saya naiki. Suara Embak-embak informasi yang seharusnya membantu, kalah dengan kebingungan yang lebih dulu saya rasakan. Rasanya sudah tidak sabar berada di dalamnya.

Sejak itu saya ketagian naik KRL. Terkadang saya iseng-iseng mencoba rute baru dan mendatangi suatu tempat di Jakarta seperti; kota tua, monas dan perpustakaan nasional, sekadar untuk menjaring ide dan inspirasi. Rupanya banyak hal bisa kita dapatkan saat bersedia meninggalkan kendaraan pribadi dan memilih menggunakan transportasi umum. Saya berkesempatan untuk mengamati banyak hal.

Pada jam-jam tertentu seperti berangkat dan pulang kerja, stasiun terlihat lebih padat dari waktu lain. Orang- orang berdesak-desakan untuk naik dan turun. Bukan sekali dua kali saya sering mendengar teriakan ibu yang kakinya terinjak, atau tubuhnya hampir tersungkur akibat dorongan dari belakang. Melihat itu saya jadi berpikir, apa rasanya menghabiskan waktu di KRL yang sesak setiap hari?

Saya mungkin bisa memilih waktu yang kosong sekehendak hati, tapi bagaimana dengan mereka yang terpaksa menggunakan kendaraan tersebut setiap berangkat dan pulang kerja? Bagaimana cara mereka bertahan dari kejemuan setiap hari?

Dari yang saya amati, banyak pengguna KRL membunuh waktu mereka dengan menatap layar HP. Beberapa yang lain berbincang, melamun dan hanya segelintir yang membaca buku. Tentu orang punya cara masing-masing untuk bertahan menjalani rutinitas di KRL. Bila tak pandai mengambil sisi yang menyenangkan, hari-hari mereka pun tamat.

Berdamai dengan keadaan tentu tak mudah. Perdamaian membutuhkan keuntungan yang sepadan. Keuntungan itu bisa terjadi andai kita mau menggalinya. Seperti yang saya katakan, naik KRL bisa menjadi sebuah kegiatan menyenangkan. Kita bisa membaca buku, mengakses berita online, membersihkan email (yang pada kesempatan lain kita lebih sering mengabaikannya), Edit dan upload dagangan bagi mereka yang punya jualan online, atau hanya sekadar menikmati interaksi sosial dalam sebuah perjalanan seperti yang saya lakukan.

Jika suka menulis, interaksi tersebut bisa menjadi ide dan bahan tulisan. Peristiwa-peristiwa yang kita jumpai bisa membuka wawasan dan mengamati gerak-gerik orang bisa untuk mengasah penokohan. Bila belum tergerak untuk menulis, maka bergegaslah untuk mencoba. Ahmad Fuadi, penulis Negeri 5 Menara di sebuah latihan kepenulisan pernah berkata, menulislah buku minimal sekali seumur hidup. Menulis bagi saya adalah proses penyembuhan diri. Bagi anda bisa jadi hal lain. Apapun itu kita sendirilah yang akan menemukan alasan itu. Tapi kita semua tahu, kita tidak sebaiknya mati sia-sia, setidaknya kita meninggalkan sesuatu untuk dibaca, syukur-syukur menginspirasi dan memberi harapan hidup untuk orang lain.

Jadi, tak mengapa menghabiskan hari-hari di KRL, ruang gerak tubuh mungkin terbatasi di sana tapi ruang gerak pikiran masih bisa dimaksimalkan. Anggap saja, kita beruntung bisa menjajal KRL setiap hari, sementara banyak muda-mudi di kota asal saya yang bahkan tidak tahu Commuter Line atau KRL itu apa.

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun