Mohon tunggu...
Tria Felle
Tria Felle Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teladan Mandela bagi Orang Papua, Mintalah Disamakan Saat Tidak Lagi Membedakan

18 Juli 2018   23:42 Diperbarui: 19 Juli 2018   00:02 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nelson Mandela adalah Presiden Afrika Selatan yang menjabat pada tahun 1994 sampai 1999 yang juga dikenal sebagai revolusioner antiapartheid di Afrika Selatan. Apartheid adalah suatu sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan pada awal abad 20-an.  Ia juga adalah orang kulit hitam pertama yang menjabat sebagai Presiden yang juga terpilih melalui keterwakilan penuh.

Pemilu ini tercapai saat Mandela menjabat sebagai ketua ANC (Kongres Nasional Afrika), bernegosiasi dengan Presiden F.W de Klerk untuk menghapuskan apartheid dan dimenangkan oleh ANC sehingga dapat dilakukan pemilu multiras pada tahun 1994 yang membuatnya terpilih menjadi presiden.

Hidup dengan kontroversial sepanjang hidupnya, banyak kritikus yang menyebutnya teroris dan simpatisan komunis, namun Mandela mendapatkan pengakuan Internasional atas sikap antikolonial dan antiapartheidnya. Mandela mendapatkan Hadiah Perdamaian Nobel 1993 dan sangat dihormati di Afrika Selatan sehingga ia dikenal dengan sebutan "bapak bangsa."

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar sebagai manusia, yang melekat pada manusia dan memaksa orang lain untuk wajib menghormati orang lain sebagai manusia terlepas dari bangsa, lokasi, bahasa, status, agama, etnis, dan status lainnya. Untuk mempertegas dan melindungi hak ini, di Indonesia diatur secara hukum salah satunya dalam UUD 1945 Pasal 28A-28J.

Indonesia sebagai satu negara dengan keberagaman suku dan agamanya sangat rentan terhadap isu-isu ini. Memiliki 6 agama yang diakui di dalam negara, terdapat lebih dari 300 kelompok etnis atau 1340 suku-suku bangsa menuntut Indonesia menjaga keharmonisannya agar tercipta negara yang menjunjung tinggi keadilan.  

Ada perkataan yang  mengatakan bahwa banyak yang ingin merubah dunia, namun tidak ada yang ingin mengubah diri sendiri. Menjadi seorang yang berkulit hitam dan berambut keriting di tengah mayoritas Indonesia yang berkulit sawo matang dan berambut halus membuat kami terlihat mencolok dan berbeda. Berada di ujung timur Indonesia, tertinggal dalam pembangunan, dan masih banyak lagi daftar yang harus disebutkan membuat jarak antara Papua dan "Indonesia" menjadi sangat Jauh.

Namun, saat membaca tentang Mandela hari ini, ada satu pelajaran yang saya dapat, yaitu bahwa Mandela berjuang untuk orang kulit hitam karena ia sendiri telah menerima dirinya dan orang kulit hitam lainnya dengan benar. Ia mampu menghargai orang-orang rasnya sebagai manusia, sehingga ia mampu berdiri dan meminta orang lain untuk menghargai mereka sebagai manusia terlepas dari segala status lainnya. 

Di Papua, ada istilah-istilah pemisahan yang dibuat oleh orang Papua untuk orang Papua lainnya yang membuat mereka yang berdiri seperti Mandela dipertanyakan . Istilah "Orang Gunung" dan "Orang Pantai"dibuat untuk memisahkan orang-orang di daerah-daerah di Papua.

Sampai saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa orang gunung (daerah Pengunungan Tengah, Wamena, Jayawijaya, dst) tidak sama dengan yang ada di Pesisir Pantai (jayapura, Serui, Biak, dsb). Yang tinggal di Pesisir Pantai pun masih saja membedakan antara "Orang Laut" dan "Orang Danau", sehingga ada larangan-larangan untuk nikah atau kawin orang ini dan orang itu. Hal-hal sepele bukan? Namun, dengan menjalankan tradisi atau anggapan-anggapan ini kita kehilangan kredibilitas untuk berdiri meminta orang lain menghargai kita karena kita pun tidak menghargai dan menerima asal kita sendiri. 

Tidak hanya itu, ada juga plesetan-plesetan yang menggambarkan bahwa sebenarnya telah terjadi diskriminasi tanpa disadari. ada kalimat "Cenderawasih su Punah" yang ditujukan bagi perempuan-perempuan Papua yang melakukan pelurusan rambut (rebonding, smoothing). Mereka dianggap tidak mampu menerima jati diri sebagai orang Papua.

Hal ini pun terjadi pada laki-laki yang menikahi perempuan diluar Papua, sering disebut "Memilih Merpati daripada Cenderawasih", dimana ini jelas-jelas hak asasi seseorang, untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (UUD pasal 28B ayat 1). Yah, sayang sekali karena kita masih saja mau membuat perbedaan didalam sebuah kelompok yang terlihat sama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun