Oleh: Syamsul Yakin(Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Hazimul Fikri Addien (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Dalam sejarah pemikiran politik Islam, nama Abu al-Hasan al-Mawardi menempati posisi yang sangat penting. Ia bukan hanya seorang ulama fikih, tetapi juga negarawan dan cendekiawan yang mencurahkan perhatian besar pada urusan tata kelola pemerintahan. Lewat karya besarnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah, al-Mawardi merumuskan bagaimana seharusnya kekuasaan dijalankan dalam bingkai syariat dan kemaslahatan umat.
Dalam pandangannya, kepala negara bukan sekadar pemegang kekuasaan formal. Seorang pemimpin harus memenuhi syarat-syarat intelektual, moral, dan fisik agar mampu melindungi umat, menegakkan keadilan, dan menunaikan tanggung jawab agama serta administratif. Al-Mawardi menekankan pentingnya pemimpin yang sehat secara jasmani, cerdas secara intelektual, dan tangguh secara spiritual. Kepemimpinan bukan ruang kosong, melainkan posisi yang mengemban amanat langit dan bumi.
Politik sebagai Instrumen Dakwah
Gagasan besar al-Mawardi tentang negara dan kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari misinya sebagai da'i. Baginya, kekuasaan bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk menyebarkan nilai-nilai Islam dan menjaga kemaslahatan rakyat. Di sinilah tampak bahwa al-Mawardi menjadikan politik sebagai bagian dari dakwah. Negara yang dipimpinnya harus menjamin keadilan, keamanan, dan kesejahteraan bagi rakyat, baik dalam aspek lahiriah seperti pengelolaan tanah, zakat, hingga jihad, maupun aspek spiritual seperti keimanan dan moralitas pemimpin.
Di dalam Adab al-Dunya wa al-Din, al-Mawardi menekankan bahwa manusia adalah makhluk lemah yang membutuhkan kerjasama dan pertolongan. Oleh karena itu, struktur sosial dan politik harus dibangun atas dasar tolong-menolong, bukan atas dasar kekuasaan yang menindas. Ia menyadari bahwa pemimpin yang beriman, berilmu, dan berakhlak menjadi kunci bagi terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur.
Dari Legitimasi Menuju Keadilan
Al-Mawardi hidup dalam lingkungan kekuasaan Abbasiyah yang saat itu mulai mengalami kemunduran. Kendati demikian, ia tidak menolak sistem kekuasaan, melainkan justru memberikan legitimasi melalui perspektif syariat. Ini membedakannya dari pemikir-pemikir modern yang kerap memisahkan antara agama dan negara. Baginya, legitimasi kekuasaan harus lahir dari nilai-nilai agama dan kepercayaan rakyat.
Pemikirannya juga menjadi tonggak penting dalam doktrin Sunni klasik, di mana seorang pemimpin tidak hanya dipilih karena keturunannya, tetapi juga karena kualitas moral, kecerdasan, dan kemampuannya melayani umat. Al-Ghazali, yang datang setelahnya, turut memperluas pemikiran ini dengan menekankan aspek spiritual dan kesalehan pribadi pemimpin (al-wara').
Relevansi Pemikiran al-Mawardi Hari Ini