Mohon tunggu...
Tri AyuniPratiwi
Tri AyuniPratiwi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Perkembangan Kepribadian Anak Melalui Teori Perkembangan Erik H. Erikson

16 April 2021   00:04 Diperbarui: 16 April 2021   00:11 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

a. Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.

b. Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.

Perkembangan ego dalam psikososial, biasanya dikenal dengan istilah “Delapan tahap perkembangan manusia”. (Emiliza, 2019 : 32) Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama pada setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut:

  1. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)

Trust vs Mistrust adalah tahap yang berlangsung pada masa oral, kira-kira ketika anak berusia 0-1 tahun. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidaknya ia pada orang-orang disekitarnya.  Bayi sepenuhnya percaya pada orang tuanya, namun hal ini tidak berlaku bagi orang asing yang jarang dilihatnya atau bahkan belum pernah ditemuinya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya.

Untuk mengatasi situasi tersebut maka dapat dilakukan dengan menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. 

Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.

2. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu

Pada tahap ini dikenal dengan masa kanak-kanak awal (balita) yang berlangsung mulai dari usia 1-3 tahun. Pada masa ini anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam artian bisa berdiri, berjalan, bermain, makan dan minum sendiri, namun disisi lain ia mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam melakukan sesuatu, sehingga meminta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya. 

Adapun dilakukan untuk mengatasi situasi tersebut adalah “menumbuhkan kemandirian (otonomi) pada diri anak untuk memperkecil rasa malu dan keraguan” (Andi Tahir, 2018 : 38). Hal lain juga dikemukakan oleh Yeni Krismawati (2014 : 50) yang berpendapat bahwa kebutuhan tersebut dapat terpenuhi melalui motivasi untuk melakukan kepentingannya sendiri seperti belajar makan atau berpakaian sendiri, berbicara, bergerak atau mendapat jawaban dari sesuatu yang ditanyakan. Krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad.

3. Inisiatif vs Kesalahan

Pada tahap ini dikenal dengan masa pra sekolah (usia bermain) yang berlangsung mulai usia 3-6 tahun. Konflik yang terjadi pada usia ini adalah Inisiatif atau terbentuknya perasaan bersalah.  Di usia ini anak memiliki inisiatif untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan. Namun karena kemampuannya masih terbatas, tidak jarang pula anak melakukan kesalahan. Dalam mengatasi situasi tersebut dapat dilakukan dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya tanpa terlalu banyak melakukan kesalahan. Erikson berpendapat bahwa “sebagian besar rasa bersalah dengan cepat digantikan oleh rasa ingin berprestasi. Keberanian untuk memimpikan dan mengejar tujuan–tujuan bernilai yang tidak akan bisa dirusak oleh rasa bersalah maupun larangan” (Yusuf dan Amin. 2020 : 60).

4. Kerajinan vs Inferioritas

Pada tahap ini dikenal dengan masa sekolah (usia sekolah) yang berlangsung mulai usia 6-12 tahun. Konflik pada tahap ini ialah kerja aktif dan rendah diri. Dorongan untuk mengetahui dan melakukan sangat besar, namun masih terbatas oleh pengetahuan dan kemampuan sehingga anak mengalami hambatan dan kegagalan yang menyebabkan anak menjadi rendah diri. Untuk mengatasi situasi tersebut yaitu dengan menumbuhkan kompetensi atau terbentuknya berbagai keterampilan. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Keberhasilan yang diraih anak akan memupuk rasa percaya diri, sebaliknya apabila anak menemui kegagalan maka terbentuklah inferioritas.

5. Identitas vs Kekacauan Identitas

Pada tahap ini dikenal dengan masa remaja yang berlangsung mulai usia 12-20 tahun. Diusia ini anak mulai membentuk dan memperlihatlan identitas diri, ciri khas dari dirinya. Konflik utama yang terjadi ialah Identitas vs Kekaburan Peran sehingga perlu komitmen yang jelas agar terbentuk kepribadian yang mantap untuk dapat mengenali dirinya. Orang tua perlu mengijinkan remaja untuk menjelajahi setiap peran yang diinginkannya. Jika ia dapat menjelajahinya dengan baik, maka Identitas positif akan dicapai. Tetapi jika ia tidak cukup menjelajahi banyak peran maka akan timbul kebingungan identitas.

6. Keintiman vs Isolasi

Pada tahap ini dikenal dengan masa dewasa awal yang berlangsung mulai usia 20-25 tahun. Individu dimasa ini mulai membentuk hubungan akrab dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Dengan demikian yang dibutuhkan individu pada tahap ini adalah cinta/kasih. “Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan” (Andi Tahir, 2018 : 47). Oleh karena itu peran orang lain dibutuhkan disini, seperti sahabat, orang tua, kekasih, dan sebagainya.

7. Generativitas vs Stagnasi

Pada tahap ini dikenal dengan masa dewasa yang berlangsung mulai usia 25-64 tahun. Individu dimasa ini sudah memiliki pengetahuan yang cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Tugas dimasa ini ialah untuk menjadi produktif dalam bidang pekerjaannya serta tuntutan untuk berhasil mendidik keluarga serta melatih generasi penerus. Solusi pada situasi ini yaitu dengan menjalin hubungan baik dan menyenangkan antara individu yang berusia dewasa dengan penerusnya.

8. Integritas vs Keputusasaan

Tahap ini merupakan tahap akhir dalam teorinya Erikson yang dikenal dengan masa usia lanjut (senja) yang berlangsung mulai usia 65-meninggal. Pada tahap ini dorongan untuk berprestasi masih ada, namun yang menjadi kendala ialah keterbatasan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan menghantuinya. “Kekuatan utama yang perlu dibentuk ditahap ini ialah mengembangkan pandangan positif pada tahap perkembangan sebelumnya” (Yusuf dan Amin, 2020 : 61). Dengan demikian, kilasan retrospektifnya akan memunculkan gambar kehidupan yang dapat dimanfaatkan dengan baik, dan orang tersebut akan merasakan kepuasan integritas dapat tercapai.

Dari pembahasan di atas tentang teori Erik Erikson dapat disimpulkan bahwa ada delapan tahapan social/psikososial yang akan dihadapi oleh manusia yang dimulai dari usia bayi, anak-anak, remaja, dewasa, sampai lanjut usia. Adapun tahapannya yaitu Kepercayaan vs kecurigaan, Otonomi vs rasa malu dan ragu–ragu, Inisiatif vs kesalahan, Kerajinan vs inferioritas, Identitas vs kekacauan identitas, Keintiman vs isolasi, Generativitas vs stagnasi, dan Integritas vs keputusasaan. 

Setiap konflik yang terjadi pada setiap tahap tentu memiliki solusi atau penyelesaian dari permasalahan yang dihadapi. Anak yang mampu menghadapi konflik identitas ini akan muncul dengan pribadi yang baru, yang fresh, dan dapat diterima, dan sebaliknya jika anak tidak mampu melewati fase ini maka anak akan menarik diri atau mengisolasi dirinya dari lingkungan. 

Dengan demikian, agar terbentuknya perkembangan dan kepribadian individu menjadi lebih baik seiring bertambahnya usia diperlukan juga dukungan dan peran orang lain agar tujuan yang diinginkannya dapat tercapai.

Daftar Pustaka

Emiliza, T. (2019). Konsep Psikososial Menurut Teori Erik H Erikson Terhadap Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Tinjauan Pendidikan Islam. Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Tadris, IAIN Bengkulu, 2019).

Krismawati, Yeni. 2014. “Teori Psikologi Perkembangan Erik H. Erikson dan Manfaatnya” dalam Kurios: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama, 2(1), 46-55.

Thahir, Andi. 2018. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aura Publishing.

Yusuf, Ode Yahyu Herliany dan La Ode Abdul Salam Al Amin. 2020. “Teori Perkembangan Sosial/Psikososial Erik Homborger Erikson” dalam Jurnal Idrus Qaimuddin, 2(1), 58-64.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun