Mohon tunggu...
Dara Raihatul Jannah
Dara Raihatul Jannah Mohon Tunggu... Human Resources - lihat lalu tulis, dengar lalu tulis, baca lalu tulis.

Book enthusiast! Senang menulis POV tentang buku-buku yang sudah dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Komunitas Anak Muda untuk Memutus Rantai Disparitas Pendidikan Antardaerah di Indonesia

31 Desember 2021   04:16 Diperbarui: 31 Desember 2021   04:27 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi Indonesia akan bersinar karena lilin-lilin di desa (Bung Hatta). Alinea keempat UUD NRI 1945 jelas-jelas memuat "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai salah satu pilar kemerdekaan Indonesia. Bagaimana bangsa yang cerdas bisa dibentuk? 

Salah satu indikatornya adalah kesetaraan mutu pendidikan antardaerah di dalam suatu negara. Indonesia, dalam laporan Programme for International Student Assessment (PISA) dikategorikan sebagai negara yang jarak mutu pendidikan antardaerahnya tergolong tinggi. (Kompas, 4 Desember 2020).

Masalah disparitas pendidikan antardaerah ini terlihat dari aspek sarana dan prasana yang tidak imbang antara lembaga pendidikan (sekolah) di kota dan didesa, akses menuju sekolah yang tidak aman bagi siswa/i, dan jumlah tenaga pengajar berikut biaya operasionalnya yang minim ditingkat desa harus dibenahi. 

Belum selesai dengan catatan kritis tersebut, Indonesia sebagai salah satu negara terdampak pandemi Covid-19 harus berhadapan dengan tantangan baru didunia pendidikan yakni ketersediaan jaringan di wilayah desa serta ketidakbedayaan warga desa dalam mengelola teknologi untuk kegiatan belajar mengajar jadi isu krusial yang harus ditanggapi dengan serius.

Sekolah daring, diyakini sebagai salah satu upaya pemutusan rantai penyebaran covid oleh Pemerintah resmi diberlakukan sejak Maret 2020.[1] Sampai dengan akhir 2021 kebijakan tersebut masih berlaku dibeberapa wilayah[2]. Kenyatan ini menjadi tantangan terbesar bagi siswa, tenaga pengajar, orangtua, termasuk stakeholder. 

Masyarakat pedesaan adalah yang paling parah terdampak dengan Sistem Pembelajaran daring ini. Di Desa Maryomo, Jombang, Jawa Timur meski belajar dengan cara berkelompok dilarang oleh otoritas pendidikan kabupaten Jombang, tetap saja anak-anak di desa ini harus berkumpul, terutama anak SD karena orangtuanya tidak memiliki gawai, kalaupun ada jaringan disana hanya bisa melalui wifi bukan seluler (Syafi'I, Kompas, 22 Juli 2021). 

 

Sejumlah siswa di Desa Keblukan, Temanggung, Jawa Tengah juga melaksanakan belajar daring secara berkelompok di balai desa karena susah sinyal (Friska, Republika, 07 Agustus 2020). Puluhan desa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat masih dalam kondisi belum terjangkau jaringan (blank spot) (Ismet, Detik, 30 Juli 2021). 

Di Sulawesi selatan, tepatnya di Desa Rante Mario, para siswa harus mencari tempat tinggi untuk mengikuti proses belajar daring (Arnas, Antara, 3 Agustus 2020). Di sumatera Barat kesulitan pembelajaran daring disebabkan kurangnya pemahaman tenaga pendidik dan keterbatasan fasilitas (Antara Sumbar, 23 juni 2020). 

Di Desa Alue Naga, Kota Banda Aceh anak-anak tidak dikawal sepenuhnya oleh orangtua selama masa belajar daring dikarenakan mata pencaharian para orangtua sebagai nelayan. Para guru pun hanya bisa menampung 1-3 murid perharinnya untuk belajar di sekolah, mengikuti aturan pemerintah setempat (Kepsek SDN 72 Alue Naga, Wawancara, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun