Penulisan ulang sejarah Indonesia tengah menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tengah menyusun narasi baru sejarah nasional menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia pada 2025. Meski melibatkan lebih dari 120 sejarawan, sejumlah pihak menilai proses ini tidak cukup transparan dan terbuka. Kekhawatiran pun mencuat: apakah ini sekadar pembaruan kurikulum, atau ada agenda politik yang tersembunyi?
Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyuarakan kritik terhadap potensi munculnya "sejarah resmi" versi negara. Mereka menilai narasi yang terlalu didominasi pemerintah bisa menghapus peran kelompok minoritas, aktivis, dan suara-suara yang pernah berseberangan dengan rezim. Sejarah, kata mereka, jangan sampai menjadi alat kekuasaan. Penulisan ulang ini dikhawatirkan hanya menonjolkan tokoh dan peristiwa yang menguntungkan citra negara. Akibatnya, rakyat hanya akan mewarisi sejarah versi satu arah.
Kekhawatiran serupa diungkapkan oleh cucu Bung Karno, Puti Guntur Soekarno, yang menyebut banyak fakta sejarah bisa hilang jika proses ini dilakukan secara terburu-buru. Ia menyoroti bagaimana sejarah seharusnya menyimpan banyak perspektif, bukan hanya narasi pemenang. Jika sejarah dimanipulasi, maka generasi masa depan akan tumbuh tanpa pemahaman utuh tentang perjuangan dan konflik masa lalu. Sejarah menjadi instrumen kekuasaan, bukan refleksi kebenaran.
Di sisi lain, pemerintah menegaskan niatnya untuk memperkaya narasi sejarah dengan temuan-temuan baru dan sudut pandang ilmiah. Mereka menyatakan proyek ini penting untuk menyelaraskan kurikulum dengan perkembangan ilmu sejarah dan kebutuhan zaman. Namun, lemahnya keterlibatan publik membuat publik ragu. Tanpa partisipasi dari berbagai elemen masyarakat, upaya ini dikhawatirkan justru menciptakan sejarah elitis yang menjauh dari kenyataan.
Proses penulisan ulang sejarah seharusnya menjadi ruang demokratis bagi bangsa untuk berdialog dengan masa lalunya. Jika dilakukan sepihak, sejarah justru bisa dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Pertanyaan kritis pun muncul: benarkah ini untuk mencerdaskan generasi muda, atau justru mengatur cara mereka berpikir? Rakyat berhak tahu dan terlibat. Karena sejarah bukan milik pemerintah ia adalah milik seluruh bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI