Pendahuluan
Program food estate telah menjadi salah satu kebijakan strategis pemerintah Indonesia dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional. Dengan mengembangkan kawasan pertanian skala besar di luar Pulau Jawa, seperti Papua dan Kalimantan, program ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan impor dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Namun, meskipun memiliki tujuan yang ambisius, pelaksanaan program ini menuai berbagai tantangan dan kritik, terutama terkait dampak lingkungan, konflik sosial, serta efektivitasnya dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Dampak Kebijakan Food Estate
1. Kerusakan Lingkungan dan Deforestasi
Salah satu dampak terbesar dari food estate adalah risiko deforestasi dan degradasi lingkungan. Studi Journal of Tropical Agriculture Sciences (2023) menunjukkan bahwa proyek food estate di Kalimantan Tengah menyebabkan hilangnya luas hutan yang signifikan, meningkatkan emisi karbon, serta mengancam keanekaragaman hayati. Jika tidak dikelola dengan baik, proyek ini dapat memperburuk krisis iklim dan merusak keseimbangan ekosistem.
2. Ketidaksesuaian Lahan dan Rendahnya Produktivitas
Banyak proyek food estate yang dibangun di lahan yang kurang cocok untuk pertanian skala besar, seperti lahan gambut yang memiliki tingkat keasaman tinggi dan daya dukung rendah. Laporan BRIN (2022) menemukan bahwa proyek di Kalimantan Tengah menghadapi kendala serius dalam produksi pangan akibat kondisi tanah yang sulit diolah dan infrastruktur yang belum memadai.
3. Konflik Sosial dengan Masyarakat Adat
Pembangunan food estate di wilayah yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat adat dan petani lokal sering kali menimbulkan konflik lahan. Kajian WALHI (2021) mencatat bahwa beberapa komunitas adat di Sumatera Utara dan Kalimantan kehilangan akses terhadap tanah mereka tanpa kompensasi yang adil. Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan proyek menimbulkan resistensi yang dapat menghambat keberlanjutan program ini.
Rekomendasi Kebijakan