Andai kata benar kabar miring tentang dipanggilnya pesaing Gibran, Achmad Purnomo, ke istana dan ditawari kursi, tentu kabar itu sangat buruk bagi pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Apa pun alasan di balik penawaran jabatan itu, peristiwa sedemikian sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat. Kalau memang tidak ada cela dan celah pada proses pemberian rekomendasi maka tiada guna memanggil Purnomo ke istana dan menawarinya kedudukan. Ingat, Istana Negara saat ini identik dengan Jokowi.
Pemanggilan itu justru memperkeruh situasi. Kalau memang tidak apa-apa, tentu tidak perlu pula ada tawaran "upah repeh". Parahnya, situasi itu memperjelas adanya sesuatu yang "aneh".Â
Bagaimanapun, "ongkos diam" berupa tawaran kedudukan mempertegas kemungkinan adanya campur tangan Jokowi pada pencalonan putranya. Itu riskan dan rentan rumor.
Tiba-tiba ingatan saya diserbu oleh peristiwa menarik pada Pilwalkot Makassar, Sulawesi Selatan, pada 2018. Kala itu pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi kalah melawan "kotak kosong". Semoga Gibran dan pasangannya, Teguh Prakoso, tidak melawan kotak kosong. [kp]