Sebagaimana penduduk lain di Desa Sukatawa, Engkos Kosasih (biasa disapa Engkang Engkos) turut menyaksikan Debat Capres Kedua. Ia bergabung bersama beberapa lelaki paruh baya di teras warung kopi Mamat Surahmat (lazim disapa Akang Mamat).
Ia tidak banyak berbicara. Hanya mengangguk atau menggeleng, itu juga kalau ada yang menyapa atau meminta tanggapannya. Engkos memang begitu orangnya. Irit kata, hemat kalimat. Apalagi di warkop itu ada beberapa jurkam Capres 02.
Ketika melihat pendukung Capres 01 di Hotel Sultan bersorak-sorak dan bertepuk riuh, ia menggumam. "Tingkah pendukung capres ini percis penonton sabung ayam. Sorak-sorak tidak perlu. Norak!"
Jadi Surjadi (sering disapa Bang Jadi) kontan tertawa. "Pendukung Jokowi memang norak." Ia tidak mengerling sedikit pun ke arah Engkang Engkos. "Tukang bohong disoraki. Sudah itu pasti dipuji-puji!"
Bibir Engkos seketika gatal. Ingin ia sambar celetukan Bang Jadi, tetapi ia menahan diri. Ambil cermin, Bang Jadi, itu bosmu berapa kali berbohong. Akan tetapi, ia hanya menggerunyam. Sebatas menggerundel di dalam hati.
Capres 02 berteriak lantang tentang kekayaan negara yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Suaranya berapi-api. Suit-suitan silih berganti, sorak-sorai sambung-menyambung. Tepuk tangan terus membahana. Termasuk di depan warkop.
Bang Jadi sampai berdiri dan mengepalkan tangan ke udara sembari berteriak, "Betul!"
Setelah suasana agak hening, Engkos tertawa. "Lebih parah. Lebih norak."
Geger Pratomo (kerap disapa Mas Geger) menoleh. "Ganti Presiden!"
Dengan tenang, Engkos menukas. "Kalau menang."
"Pasti!" Sambar Bang Jadi.