Bulan Bahasa, Oktober 2018, sudah di depan mata. Saatnya kembali menakar kecintaan dan kebanggaan kita pada bahasa Indonesia..Â
Jika bertolak dari 1928, kala Sumpah Pemuda dikumandangkan, berarti bahasa Indonesia sudah 90 tahun didapuk sebagai bahasa persatuan kita. Jika bertumpu pada pengesahan UUD 1945, berarti sudah 73 tahun lamanya bahasa Indonesia kita sepakati sebagai bahasa pemersatu.Â
Sungguh usia yang sudah tidak muda, malah telah menapaki anak tangga renta.
Sayang sekali, kebanggaan dan kecintaan kita terhadap bahasa Indonesia belum setara dengan kemampuan kita dalam menggunakannya. Entah lisan entah tulisan sama-sama sering keliru. Ejaan sudah silih berganti, tetapi kesalahan dalam berbahasa masih kerap terjadi.
Zaman kekeliruan menggunakan bahasa takbaku dalam tulisan--seperti antri, analisa, dan hipotesa--belum juga berakhir. Segelintir pengguna bahasa Indonesia masih kaku memakai kata antre, analisis, dan hipotesis. Salah kaprah merubah atau merobah, yang mestinya mengubah, masih kerap terjadi. Sebagian di antara kita masih sering keliru membedakan antara di- sebagai imbuhan dan di sebagai kata depan. Itu hanya sekadar contoh.
Sadar tidak sadar, salah pilih diksi dapat mengancam "keselamatan bahasa Indonesia". Salah pilih diksi yang terus berlarut-larut dilakukan bisa berujung pada salah kaprah. Adapun kata salah yang kita kaprahkan akhirnya membuat kita merasa bahwa itulah kata yang tepat. Padahal, keliru.Â
Kesalahkaprahan itu justru kerap dilakukan oleh barisan penulis, termasuk jurnalis, sebagai garda terdepan pewarta bahasa Indonesia. Alih-alih menularkan virus cerdas berbahasa Indonesia, beberapa penulis justru mencontohkan penggunaan bahasa Indonesia yang keliru.
Coba aktifkan gawai, kemudian ramban dan bacalah berita-berita. Media daring amat sering menayangkan berita yang abai pada kaidah tata bahasa. Judul disusun secara sambalewa atau serampangan, semacam akal-akalan demi memantik gairah pembaca untuk mengklik berita. Isi berita banyak memajang kata yang salah kaprah. Mari kita simak contoh berikut. Â
(1) "Kita harus menggunakan bahasa yang santun dalam berkampanye," harap Reza.
Penggunaan kata harap dalam (1) adalah contoh kesalahan yang dikaprahkan. Seolah-olah kata harap semakna dengan kata. Padahal, kata harap berarti "mohon atau minta". Dapat juga diartikan "keinginan supaya sesuatu terjadi". Dengan demikian, harap bukanlah diksi yang pas untuk mendeskripsikan petikan atau kutipan dari narasumber. Jika bosan menggunakan kata, silakan memakai varian diksi yang semakna seperti ucap atau ujar.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!