Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemerintah Harus Beri Pemulihan dan Kompensasi untuk Para Siswa

23 Oktober 2020   05:27 Diperbarui: 23 Oktober 2020   05:45 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua anak SD di Prov. Banten sedang belajar jarak jauh dari luar sekolah. (Foto: BBC.com).

Kurikulum Darurat 2020 yang diluncurkan pemerintah pada dasarnya menitikberatkan pada Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kurikulum Darurat merupakan penyederhanaan dari Kurikulum 2013 untuk kompetensi esensial dan berlaku sampai akhr tahun pelajaran 2020/2021. Inti Kurikulum Darurat adalah untuk memutus raantai-rantai pertemuan tatap muka guru dan siswa.

Begitu entengnya Kemendikbud mengeluarkan pernyataan untuk memutuskan rantai-rantai pertemuan tatap muka dalam Kurikulum Darurat 2020. Saya percaya bahwa pemutusan ini adalah tindakan yang telah merugikan orang tua dan para siswa. 

Hingga memasuki akhir semester, pandemi Covid-19 belum juga mereda. Sementara itu para siswa dan para guru dikembalikan ke rumah. Mereka yang sudah pulang ke rumah tidak atau sulit kembali mendapatkan ilmu lagi. Apalagi di daerah-daerah terpencil, seperti Belu dan Malaka di Prov. NTT. Di daerah-daerah ini para Kepsek menyuruh para siswa pulang ke rumah. Padahal daerah tertinggal dengan zone hijau masih cukup aman untuk tatap muka. Sekolah-sekolah di daerah tertinggal berzone hijau merasa diri hidup seperti di daerah maju. 

Kasihan, para siswa di daerah tertinggal dengan zone hijau, pergi ke sekolah saja perlu perjuangan besar. Seharusnya daerah-daerah tertinggal yang masih dalam status zone hijau tetap bersekolah dengan pantauan Dinas Kesehatan setempat. 

Saya jadi curiga, para kepala sekolah di daerah terpencil telah makin membuat daerah terpencil terpuruk di tengah Pandemi. Mereka menyuruh semua siswa pulang ke rumah dan gurunya juga, sementara itu uang SPP tetap harus dibayar para siswa. Juga mereka mengharapkan agar dana BOS tetap ditransfer pemerintah. Kecurigaan bisa muncul, untuk apa uang SPP dan dana BOS yang sekolah terima, jika tidak ada lagi pelajaran tatap muka di kelas? Apalagi dalam kondisi sekarang, jangankan bermimpi untuk pandemi Covid-19 hilang, mereda saja sulit.

Mimpi untuk pandemi hilang itu sudah tidak mungkin terjadi. Virus Covid-19 akan bergabung dengan virus HIV/AIDS, SARS, Flu Burung/Flu Babi, dll untuk membentuk kekuatan nyata pengancam hidup manusia di masa depan di abad 21. Satu-satunya upaya kita adalah meningkatkan keamanan dalam hidup kita sendiri.

Para siswa sudah dirugikan. Negara harus membayar kompensasi untuk pemulihan anak-anak sekolah. Seandainya Pandemi Covid-19 mereda, negara harus membayar kompensasi atas segala tindakan memulangkan para siswa ke rumah. Akibat tindakan memulangkan para siswa ke rumah, para siswa kehilangan hak mereka dalam belajar dan mendapatkan ilmu, serta kehilangan peluang karier yang baik di masa depan. 

Kompensasi harus diberikan dan harus bersifat segera untuk memilihkan hak-hak para siswa, baik di zone merah maupun di zone hijau demi masa depan para siswa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun