Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Let's Read, Analisis Atas Para Pengguna Naskah-Naskah Bacaan

15 September 2020   01:20 Diperbarui: 15 September 2020   01:32 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca untuk menyanyi rohani di Halehebing, kab. Sikka. (Foto: Dokpri).

Gerakan literasi di SMA/SMK/MA oleh pemerintah masih terasa ambigu. Apakah kita ingin mendidik para peserta didik menjadi produsen naskah? Apakah mereka sudah beradab? Mayoritas para peserta didik di desa-desa adalah para peserta budaya. Mereka bukan sebagai produsen naskah, peneliti dan penyimpan naskah-naskah buku. Para peserta budaya mengikuti pendidikan agar mereka bertumbuh sebagai orang-orang beradab. Dari antara para peserta didik SMA/SMK/MA, hanya sedikit dari antara mereka kelak menjadi pemimpin agama dan masyarakat. Mereka yang muncul sebagai pemimpin masyarakat dan agama adalah mereka yang memiliki kemampuan memimpin dan dibimbing oleh beberapa Parpol. Sebelum membaca lanjutan artikel ini, silahkan Anda mengunjungi Website Let's Read  dan mengunduh aplikasi Le's Read. 

Para Pengguna Naskah

Buku-buku atau teks-teks yang menjadi bacaan favorite di desa-desa dalam  Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah buku-buku dan teks-teks yang diterbitkan gereja, seperti: Kitab Suci, buku doa, buku nyanyian dan buku-buku rohani. Selain itu adalah buku-buku pelajaran di sekolah dan buku-buku di Perpustakaan Sekolah. Naskah-naskah umumnya beraksara latin.

Secara umum buku-buku atau teks-teks terbitan lembaga gereja lebih mendapatkan tempat dalam bacaan rakyat di NTT. Saban hari, kebutuhan untuk membaca, merenung dan menyanyikan teks-teks itu selalu dilakukan dalam kesempatan pertemuan rohaniah dan ibadah-ibadah.

Pada awalnya pendidikan di desa-desa dimiliki oleh gereja sebagai sarana pewartaan dan pendalaman iman umat. Proses pendidikan berawal dari dasar oleh gereja. Mayoritas warga masih percaya kepada agama asli dan masih buta huruf. Orang-orang muda dari kaum tua didaftarkan untuk memulai pendidikan dengan kondisi fasilitas sederhana. Bacaan-bacaan dan materi pelajaran adalah agama, baca-tulis, aljabar, matematika, dll. Ilmu agama diperioritaskan dalam materi pendidikan yang dimotori oleh gereja.

Selama saya menjadi guru di Kabupaten Belu sejak tahun 2001, saya selalu berkutat pada pendidikan anak-anak remaja di daerah ini. Lembaga-Lembaga pendidikan tempat saya bekerja adalah milik pemerintah dan gereja. Hal itu berarti anak-anak asuhan saya didik bukan saja untuk kelak menjadi pemimpin gereja dan masyarakat di masa depan. Mereka dididik untuk menjadi orang-orang beradab dan baik saja.

Pada dasarnya pendidikan adalah proses pelatihan membaca dan menulis sampai mencapai tingkat baik. Tjujuan demikian tidak selamanya tercapai. Gerakan literasi juga belum berhasil secara baik di lembaga SMA/SMK. Di daerah saya, para guru menumbuhkan minat baca anak-anak pada usia SD dengan paksaan. Hukuman siksaan adalah wajib bagi anak-anak yang tidak bisa membaca. Anak-anak disuruh untuk berlutut, dipukuli gurunya dan banyak hukuman fisik lainnya. Mungkin karena anak-anak takut hukuman, mereka berjuang mati-matian untuk tahu baca dan tulis.

Latihan baca dan tulisan dimulai dari rumah. Orang tua menuntun anak-anak untuk berlatih agar bisa membaca dan menulis, mula-mula dengan halus, tetapi lama-lama dengan hukuman. Hal itu berarti bahwa baca-tulis bagi anak-anak usia kelas III SD ke atas adalah kewajiban yang disertai dengan pelbagai ancaman hukuman fisik.

Metode demikian terasa berhasil. Anak-anak dalam kurun waktu beberapa tahun di kelas III SD sudah mampu membaca dan menulis dengan lancar. Mereka yang tidak tahu membaca dan menulis di kelas III, akhirnya memutuskan sendiri untuk keluar dari sekolah dan memilih bekerja di kebun dan padang rumput membantu orang tua mereka.

Selepas Sekolah dasar, minat baca dan tulis anak-anak menurun. Para guru merespons kondisi ini dengan memperbanyak waktu-waktu latih nyanyian dan olah raga. Latihan menyanyi mingguan dapat merangsang minat mereka untuk baca-tulis menjadi tinggi. Latihan menyanyi membuat mereka dapat membaca huruf dan membaca angka not sekaligus.

Sejauh ini, metode latih nyanyi harian adalah ampuh. Bukan hanya para siswa SD tetapi juga bagi orang tua. Dengan adanya tanggungan koor lingkungan di gereja, orang-orang tua, orang muda dan anak-anak Sekolah Dasar dapat berkolaborasi untuk melatih menyanyi dengan teks-teks yang sudah tua, melatih musik, olah vokal sampai mereka mampu membentuk koor yang merdu dan indah di gereja.

Para peserta didik adalah peserta budaya. (Foto: Istimewa).
Para peserta didik adalah peserta budaya. (Foto: Istimewa).
Kolaborasi antara agama, LSM, masyarakat dan negara bertujuan untuk menghasilkan generasi manusia yang unggul. Kebutuhan menyanyi di gereja adalah kebutuhan pokok yang selalu ada setiap hari minggu dan hari-hari raya gereja. Dalam hal ini ibadah gereja amat membantu merangsang para peserta didik agar dapat memiliki kemampuan membaca dan menulis sampai seumur hidup. Lietrasi adalag gerakan yang penting dan menjawabi kebutuhan.

Jenis-Jenis Para Pengguna Naskah Bacaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun