Raja Konawe yang rupawa, Ramangdilangi duduk tak bergeming, disamping permaisuri, Wekoila sang Putri Anaway Inuanggino Sangia yang cantik jelita. Sang raja lagi boring memikirkan kemarau yang panjang membuat petani melarat.
"Kakanda Ramangdilang, apakah gerangan yang membuatmu bersedih. Tak cukupkah diriku mendampingin dirimu siang dan malam."
"Cukup adinda Wekoila. Aku berpikir bagaimana nasib rakyat kita di tengah kemarau yang panjang ini."
"Kita undang pembesar istana, kita bicarakan masalah."
"Betul adinda, kamu memang cerdas dan cantik."
"Karena malam sudah larut kakanda, mari kita rehat."
Sang permaisuri menggerling mesra ke raja dengan ekor mata yang indah. Itu pertanda keduanya harus masuk bilik. Raja Ramandilangi sangat mengerti kode-kode kemanusiaan itu. Tetapi kenapa hatinya malam itu beku kayak gunung es. Sang raja kelihatannya tak siap mental malam itu.
"Apakah ini semua terjadi karena ulahku, sehingga rakyat harus terima hukum alam. Apakah ini dosaku padamu Anamia Ndopo"
Ramandilangi masih berdiam di kedudukannya dan melamun. Sementara Wekoila telah di balik bilik terlentang dengan pakaian tipisnya. Semua keindahan tubuh wanita telah tersembul di sana. Ada dada yang subur dengan dua gundukan menantang, diantaranya lembah menawan membuat jantung copot seketika. Jari-jari kaki ratu begitu putih, lentik dan bersih, melekat pada sepasang betis halus, makin ke atas semakin menawan.
"Aku telah membiarkanmu merana."
Ramangdilangi terus membatin, hingga permaisuripun harus menjemputnya dan membawanya ke peraduan. Di sini, raja dan permaisuri mengenang malam pertama mereka 12 purnama yang lalu. Namun wajah Anamia Ndopo selalu saja melintas diantara kemesraan mereka.