Mohon tunggu...
Taufik AAS P
Taufik AAS P Mohon Tunggu... Penulis - jurnalis dan pernah menulis

menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peringati Hari Guru Nasional, Ingat Guru Ngaji dengan Cemeti Kulit Kayu

23 November 2017   23:35 Diperbarui: 23 November 2017   23:43 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 25 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional, tentu pikiran tertuju kepada organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Itulah wadah persatuan para "Omar Bakrie" yang juga sering disebut "Pahlawana Tanpa Tanda Jasa." Namun sekarang sudah dihargai  jasanya  oleh negara dengan gaji tambahahan yang disebut  "gaji sertifikasi guru."

Kalau mengingat  guru, ada banyak guru yang telah mengajar  saya, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Begitu meskipun susah membayangkan wajah-wajah mereka satu persatu yang mungkin jumlahnya ratusan. Apalagi umur saya sudah menjelang tua pula. Namun mereka masih terekam dalam benak. Tetapi satu wajah guru yang tidak mungkin hilang, yaitu wajah guru mengaji  saya. Sayang guru itu telah tiada pula, seperti  tiadanya "Hari Guru Mengaji  Nasional."

Guru mengaji saya itu namanya sangat singkat, "Duna." Kami murid-muridnya, sering menyebut  "Uwa' Duna." sapaan  "Uwa"  dalam bahasa Bugis, untuk menyebutkan "Paman" sebagai penghormatan. Karena memang kami murid-murid mengaji  telah dianggap anak ponakan oleh sang guru Duna.

Meskipun tubuhnya cacat, ia lumpuh, Guru  Uwa'Duna mampu menguasai teknik mengajar ngaji ala dulu, yang mulai dari Qur'an Kecil hingga Qur'an Besar. Kami masyarakat Bugis/Makassar menyebut  kumpulan Jus Amma dengan sebutan Qur'an Kecil. Sedangkan Qur'an Besar adalah Alif Lammin, Surat Al Baqarah hingga habis 30 juz.  Tentu dengan cara mengajar Al Qur'an tempo doeloe. Murid-muridnya, diminta mengaji secara terus menerus  berdasarkan nash-nash Al Qui'an kecil dan besar itu. Ia hanya mengawasi dengan membentulkan cara bacaan yang salah serta menegur  murid yang tidak serius.

Karena  Guru Duna tidak bisa berdiri, maka ia hanya duduk di atas balai-balai yang tinggi, diantara murid-murid mengajinya. Ia selalu memegang tali cambuk dari kulit kayu yang dijalin rapih. Dengan lasso  itu Guru Duna menegur murida yang salah bacaan. Kalau murid sedikit  nakal, lecutan lasso itu bisa mengenai punggung. Tapi itu betul-betul cambuk untuk semakin baik belajar ngajinya.

Mengajar anak-anak ngaji Al Qur'an bagi Guru Duna adalah sebuah  ibadah. Ia tidak pernah meminta imbalan jasa apa-apa kepada murid. Ia hanya minta diambilkan air dari sungai yang jauh dari rumahnya. Bahkan ia sering memberikan murid-murid ngaji  hasil kebunnya yang digarap orang, seperti ketela pohon, pisang, kacang tanah dan sayuran.

Ketulusan Guru Duna mengajar, belum pernah saya  dapatkan dari ratusan guru-guru  yang mengajar saya di bangku sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingg perguruan tinggi. Karena ia mengajar dengan nurani dan jiwa raganya secara total. Bahkan saat  ia menghembuskan napasnya yang terakhir, masih banyak murid-muridnya yang  belum tammat  mengaji.

Selamat Hari Guru Nasional!   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun