Mohon tunggu...
Lulu Bonavia
Lulu Bonavia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tourism Undergraduate Student at Universitas Gadjah Mada.

Having interest in tourism and culture.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menari dalam Harmoni: Menemukan Jiwa Bali Melalui Tari di Kaki Bebek House Studio

29 November 2024   13:50 Diperbarui: 9 Desember 2024   00:12 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bli Made Cat (Dokumentasi Pribadi)

Bali bukanlah sekadar destinasi wisata arus utama di Indonesia, tetapi juga sebuah dunia yang di dalamnya penuh dengan desir tradisi dan spiritualitas. Ketika angin laut berhembus lembut dan suara ombak menjadi latar, ada kehidupan lain yang menggema di tengah kota. Saya dipertemukan dengan Kaki Bebek House Studio. Sebuah tempat di Desa Batuan, Gianyar, Bali di mana seni tari menjadi jembatan menuju pengalaman magis yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Perjalanan ke desa ini sudah menjadi pengalaman tersendiri. Jalanan desa yang rapi diapit oleh pura kecil dan rumah-rumah khas Bali. Di berbagai sudut jalan, terlihat sesajen kecil dengan dupa, menjadi sebuah simbol tersendiri atas dedikasi masyarakat kepada dewa-dewa yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Saat itu saya melewati warga yang sedang bergotong-royong mempersiapkan sebuah acara, yang saya yakin itu merupakan acara adat. Menunjukkan bahwa kehidupan di Desa Batuan terasa hangat dan penuh kebersamaan. Warga saling menyapa dengan keramahan yang menyentuh hati. Di tengah perjalanan, saya sempat memperhatikan banyak anjing yang bebas berkeliaran, mendominasi jalanan desa, sebuah pemandangan unik yang berbeda dari tempat asal saya di Jawa.

Ketika tiba di Kaki Bebek House Studio, saya langsung disambut oleh senyuman tulus para penabuh gamelan dan pemilik studio sekaligus sang maestro tari, Bli Made Suteja S.Sn., atau yang akrab disapa Bli Made Cat. Beliau merupakan seorang maestro tari Bali generasi ketiga, penjaga tradisi yang tidak hanya menghidupkan seni tari, tetapi juga membaginya kepada siapa saja yang ingin belajar. Studio ini terasa begitu hidup, bukan hanya karena ada saya dan teman-teman sebagai wisatawan yang datang dan ingin belajar tari Bali, tetapi juga karena Bli Made Cat membuka kelas tari untuk anak-anak dan orang dewasa setempat, memastikan bahwa warisan budaya ini tetap terjaga di tangan generasi mendatang.

Sebelum memulai workshop, kami disuguhi sebuah pertunjukan tari yang memukau yang dipersembahkan langsung oleh Bli Made Cat. Gamelan Bali mulai berbunyi, alunannya terasa begitu dinamis dan menghentak. Sebagai seorang pemain saron amatiran di gamelan gaya Surakarta, saya langsung menyadari perbedaan besar antara gamelan Bali dan Jawa, khususnya gaya Surakarta. Gamelan Bali memiliki ritme yang lebih cepat, keras, dan penuh energi, sedangkan gamelan Jawa lebih lembut dan melankolis. Musik ini membangun suasana sakral, seolah membawa saya ke dunia lain, dunia di mana batas antara manusia dan dewa terasa kabur. Terlalu dalam tenggelam dalam musik gamelan Bali dan suara seruling yang lembut, tak terasa air mata saya sudah berada dipelupuk mata. Satu kedipan saja bisa membuatnya jatuh terurai di pipi. Ya, saya sangat terbawa suasana, sajian yang ada di depan saya saat itu begitu luar biasa.

Tarian yang kami saksikan adalah tari topeng keras, sebuah tarian yang memperkenalkan berbagai karakter melalui berbagai jenis topeng dengan ekspresi berbeda. Made Cat yang tampil di hadapan kami tampak seperti tengah bercerita dengan tubuhnya. Awalnya, gerakan para penari tampak acak, seperti tanpa pola yang jelas. Namun, semakin saya memperhatikan, semakin terlihat bahwa setiap kibasan tangan dan hentakan kaki memiliki ritme dan seni tersendiri. Kostum tradisional yang kompleks dan berlapis, lengkap dengan berbagai ekspresi dari topeng keras yang dikenakan, semakin menambah kesan mistis. Topeng-topeng itu tampaknya bukan hanya sekadar properti, melainkan sebuah medium untuk menghadirkan karakter mitologis dari kisah-kisah Hindu Bali. Pertunjukan itu ternyata tidak hanya sekadar seni, tetapi juga representasi karakter-karakter lokal yang erat kaitannya dengan mitologi Hindu dan kepercayaan Bali. Hubungan antara seni dan spiritualitas ini adalah sesuatu yang jarang saya temui, tetapi terasa begitu alami di Bali.

Setelah pertunjukan yang memukau, tibalah saatnya kami untuk belajar menari. Bli Made Cat dengan menunjuk beberapa diantara kami secara acak untuk mempraktikkan beberapa gerakan dasar yang terlihat sederhana tetapi sebenarnya penuh dengan teknik yang rumit! Setiap gerakan tangan dan kaki, hingga posisi tubuh diajarkan dengan teliti. Saya yang hanya melihat begitu takjub dengan kerumitan gerakan yang sedang diperagakan teman-teman saya di depan. Mereka beruntung, bisa mempelajari gerakan tari itu bersama sang Maestro. Meskipun begitu, semua orang dalam rombongan kami juga memiliki kesempatan untuk mencoba mempraktikkan tari dengan gerakan paling umum di Bali, yaitu Tari Kecak.

Aktivitas tersebut menjadi penutup workshop tari kami dengan sang maestro. Bli Made Cat mengajak para pemain gamelan untuk ikut bersama kami, sebuah pengalaman yang benar-benar tak terlupakan. Tari kecak bukan hanya soal gerakan, tetapi juga melibatkan seluruh tubuh dan suara. Kami dibagi menjadi tiga kelompok untuk menyuarakan tiga suara vokal yang berbeda, yang pertama “pong-pong-pong-sir,” lalu selanjutnya adalah “cak-cak-pong cak-cak-sir,” dan yang terakhir “kecak-kecak-sir.” Kami berdiri menggerakan tangan dan menghentakan kaki sekaligus menyelaraskan vokal yang menjadi ritme dasar tarian ini. Alunan suara kami yang saling bersahutan menciptakan harmoni yang unik, seperti aliran energi kolektif yang menyatukan semua peserta. Ketika workshop berakhir, kami bertepuk tangan untuk diri kami sendiri, tersenyum lebar, meski energi kami mulai habis memasuki penghujung hari. 

Sejujurnya pengalaman saya selama tiga hari di Bali tidak begitu berkesan, malah memunculkan rasa kecewa yang besar. Beruntung, Desa Batuan menyajikan sesuatu yang luar biasa hingga setidaknya pengalaman pertama saya di Pulau Dewata terselamatkan. Desa Batuan khususnya Kaki Bebek House Studio tidak hanya memperkenalkan saya pada seni tari Bali, tetapi juga memberikan pelajaran tentang bagaimana budaya menjadi jembatan yang menghubungkan manusia, tradisi, dan spiritualitas. Saat saya melangkah pergi, saya membawa lebih dari sekadar kenangan. Saya membawa sebuah pengalaman yang mengubah cara pandang saya terhadap seni dan kehidupan. Di Bali, seni adalah doa. Dan di Kaki Bebek House Studio, saya telah merasakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun