Mohon tunggu...
Saffania Athasya
Saffania Athasya Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswi

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Perlindungan Jurnalis Menjadi Kemerdekaan Media Pers

19 Mei 2022   14:38 Diperbarui: 19 Mei 2022   15:00 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Penulis] Saffania Athasya. Mahasiswi Semester 4 Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

 

Jurnalis merupakan sebuah pilar utama dalam kemerdekaan pers, maka dari itu seorang jurnalis saat menjalankan tugas profesinya berhak dan mutlak untuk mendapatkan perlindungan secara hukum dari negaranya, masyarakat maupun juga dari perusahaan pers. Karena hak perlindungan tersebut untuk menjadikan standar perlindungan dan memberikan keamanan sebagai profesi jurnalis

Dalam Negara Indonesia sendiri juga memberikan hak perlindungan kepada seorang jurnalis pada saat melakukan tugasnya terutama dalam perang atau bentrok di Kawasan bersenjata, yang tercantum pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia.

  1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3235).
  2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala;

Hukum sudah tercantum dengan jelas, tetapi masyarakat belum dapat memahaminya. Tidak hanya masyarakat yang ada di Indonesia, masyarakat luat negeripun terkadang kurang memahai padahal sudah terdapat hukum internasional mengenai media pers atas perlingdungan seorang jurnalis. Saat ini terdapat salah satu peristiwa yang menggemparkan seluruh dunia mengenai kematian seorang jurnalis veteran.

Shireen Abu Akleh perempuan yang memiliki berkewarganegaraan ganda Palestine-Amerika. Beliau merupakan tokoh media pers keturunan arab. Keberanian dan profesional beliau menjadi seorang jurnalis sejak tahun 2000 hingga saat ini sangat dipuji dan diakui oleh masyarakat dunia. Terutama saat beliau meliput konflik dan peperangan antara Palestina-Israel.

Kepergian sosok Shireen Abu Akleh menjadi sorotan internasional dan menjadi duka di seluruh dunia. Shireen Abu Akleh tertembak pada saat menjalankan tugasnya dalam meliput bentrokan antara pasukan keamanan Israel dengan warga Palestina yang berada di Kota Jenin, Tepi Barat. Setelah peristiwa kepergian sosok jurnalis veteran, muncullah kecaman hingga tuntutan dari penyelidik independent seperti Palestine, Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga PBB. Atas kematian Shireen Abu Akleh yang tertembak saat menjalankan tugasnya.

Mahmoud Abbas sebagai Presiden Palestine mengatakan akan membawa atau menindaklanjuti kasus pembunuhan Shireen Abu Akleh ke Pengadilan Kriminal Internasional. Tindakan penembakan yang dilakukan militer Israel sudah menjadi kejahatan di perang. Tetapi sebaliknya juru bicara militer Israel Ron Kochav mengatakan bahwa pejuang palestina yang akan bertanggung jawab atass kematian Shireen Abu akleh.

Sedangkan dari rekan jurnalis lain yang sedang bertugas di daerah tersebut mengatakan tidak ada tembakan dari pihak milisi Palestina. Pihak Palestina menolak tawaran dari Israel untuk membentuk sebuah komite yang bertujuan menyelidiki kasus kematian Shireen Abu Akleh.

Seorang jurnalis juga memiliki perlindungan di dunia yang tercantum dalam hukum internasional. Dalam hukum internasional memiliki perjanjian peperangan sebagai hukum humaniter mengatur mengenai perlindungan wartawan atau jurnalis dalam daerah peperangan atau daerah konflik bersenjata. Hukum humaniter termasuk konvensi yang digunakan saat perjanjian multilateral, baik itu terbatas atau terbuka karena dianggap penting.

Hak perlindungan untuk seorang jurnalis tercantum pada hukum den haag yaitu dalam konvensi IV Den Haag 1907 pasal 13 yang berisikan mengenai Penghormatan Hukum Hukum Perang dan Kebiasaan Perang di Darat. Selain itu juga terdapat hukum jenewa pada pasal 4 Konvensi III Jenewa 1949 tentang perlakuan terhadap tawanan perang, dan jurnalis salah satunya dari keempat golongan tersebut. Pasal 4 bagian A (4) menyatakan.

"Persons who accompany the armed forces without actually being members thereof, such as civilian members of military aircraft crews, war correspondents, supply contractors, members of labour units or of services responsible for the welfare of the armed forces, provided that they have received authorization, from the armed forces which they accompany, who shall provide them for that purpose with an identity card similar to the annexed model".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun