Mohon tunggu...
David Edison
David Edison Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Public Speaker

Alumnus STF Driyarkara Jakarta, Graduate 2014. Tertarik dengan masalah humanitas karena manusia pada kenyataan asalinya merupakan Subjek pada dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konsep Nurcholish Madjid Tentang Demokrasi Indonesia

30 Maret 2012   12:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:15 3864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

A.PENGANTAR

Seiring perkembangan zaman, pemikiran akan suatu sistem kenegaraan yang baik terus digulati oleh banyak pemikir Muslim dan juga pemikir lain. Dalam konteks Indonesia, kemunculan ide-ide Nurcholish Madjid merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Cendikiawan Muslim ini, tampil dengan ide-ide cemerlang mengenai pembaharuan Islam. Pemikiran-pemikiran pluralisnya kerap menjadi bahan diskusi sehingga membuat namanya cukup terkenal bagi masyarakat Indonesia. Kiranya tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa bersama Abdurrahman Wahid[1], Nurcholish  adalah pemikir Muslim yang inklusif.

Tulisan ini merupakan suatu upaya untuk mengangkat salah satu pemikiran Nurcholish yaitu mengenai demokrasi Indonesia. Tujuan yang hendak dicapai disini bukanlah suatu konstruksi demokrasi a la Nurcholish tetapi lebih pada bagaimana Nurcholish memandang demokrasi Indonesia.

B.SEKILAS BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID

Nurcholish Madjid lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 17 maret 1939. Ayahnya, Abdul Madjid mempunyai hubungan dekat dengan KH. Hasyim Asy’ari karena ia belajar di Pesantren Tebuireng.[2] Sejak kecil, Nurcholish dibiasakan dengan dua model pendidikan, yaitu pendidikan keagamaan yang dilaksanakan di pesantren dan pendidikan umum yang bercorak modern. Pada tingkat dasar, Nurcholish menjalani pendidikan di Madrasah al-Wathaniyah, yang dikelola oleh orang tuanya sendiri dan Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang.[3]

Setelah itu, Nurcholish meneruskan pendidikan menengahnya di Jombang. Kemudian Nurcholish belajar di pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang. Tapi tak berlangsung lama karena Ia dan keluarganya segera berpindah ke Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo. Perpindahan itu terkait dengan posisi ayahnya sebagai anggota partai Masyumi. Ayahnya telah berpindah dari pola politik tradisional menuju pola politik modern. Saat itu Partai Masyumi memang dikelola oleh kaum intelketual Islam yang merupakan lapisan pertama santri yang berinteraksi dengan pendidikan Barat.[4]Maka dengan demikian Nursholish berkesempatan memperluas cara pemikirannya berkaitan dengan perpaduan kultur liberal gaya modern Barat dengan tradisi Islam Klasik.[5]

Pada periode pendidikannya di IAIN Syarif Hidayatullah, situasi Indonesia berada dalam peralihan kekuasaan ke tangan orang-orang Indonesia pasca kemerdekaan.  Isu utama adalah berkaitan  dengan perang dunia II adalah demokrasi.[6]

Pada masa kuliahnya di IAIN, Nurcholish terlibat aktif dalam Himpunan Mahasiswa  Islam (HMI). Bahkan ia pun diangkat menjadi ketua HMI selama dua periode.  Pada saat yang sama ia menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara periode 1967-1969. Selama berada di puncak kepemimpinan HMI, Nurcholish melakukan lawatan ke Amerika Serikat dan Timur Tengah. Perjalanan itu berpengaruh dalam  perkembangan permikiran, yang mana perjalanan itu turut mengilhaminya dalam menulis Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang kemudian dikenal sebagai “pegangan ideologis” HMI.[7]

Sekilas isi NDP itu dikelompokkan menjadi tujuh bagian atau bab, yakni dasar-dasar kepercayaan, pengertian dasar tentang kemanusiaan dan keharusan universal, ketuhanan yang maha esa dan perikemanusiaan, individu dan masyarakat, keadilan sosial dan keadilan ekonomi, dan kemanusiaan dan Ilmu pengetahuan.  Dengan kata lain hal-hal itu menyangkut tiga hal yaitu beriman, berilmu, dan beramal.[8]

Pada  tahun 1978, setelah melalui banyak kegiatan diskusi dan memberikan ceramah di banyak tempat, Nurcholish mendapat beasiswa dari Ford Foundation untuk mengambil studi di Chicago University. Sebelumnya pada pemilu 1977, Nurcholish tampil sebagai juru kampanye partai Islam, PPP. Alasan di balik keterlibatannya itu adalah untuk membangun keseimbangan politik agar tidak ada satu kekuatan politik yang terlalu dominan di satu sisi dan kekuatan politik yang terlalu lemah di sisi lain. Menurutnya politik harus berjalam seimbang.[9] Nurcholish menamatkan program doktoralnya di Universitas Chicago pada tahun 1894, dengan  disertasi “Ibn Taymiyya on Kalam  and Falsafa.” [10]

Setelah menyelesaikan studinya, Nurcholish bergabung dan menjadi pilar utama dalam organisasi Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Organisasi itu mewadahi pemikir-pemikir Islam yang menamatkan berbagai bidang pendidikan modern  dan menjadi sarana eksperimentasi demokrasi. Akan tetapi, ketika Soeharto menunjukkan simpatinya pada ICMI tampak bahwa Ia hendak mencari dukungan. Di sini, Nurcholish tampil dengan pemikiran kritisnya. Nurcholish menawarkan pentingnya tradisi oposisi untuk menciptakan keseimbangan dan kontrol  kekuasaan dalam demokrasi Indonesia.[11]

Oleh karena itu dalam menghadapi pemilu 1997 yang mana soeharto kembali mencalonkan diri, Nurchoilsh termasuk dalam kelompok orang yang menghendaki adanya lembaga pengawas pemilu yang berfungsi efektif. Ia bersama sejumlah cendikiawan mempelopori terbentuknya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Hal itu merupakan suatu hal yang tak lazim dalam pemilu sebelumnya.[12]

Sebelumnya, Nurcholish telah diangkat menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Hal itu kiranya menjawab pemikirannya yang menyerukan penghargaan terhadap nilai-nilai HAM. Menurutnya, HAM adalah bagian dari semangat dasar nilai-nilai keagamaan.[13]

Menjelang kejatuhan Soeharto, Nurcholish bersama sejumlah tokoh Muslim diundang untuk bertemu soeharto. Nurcholish secara terus terang menyampaikan pendapat rakyat bahwa Soeharto mesti mengundurkan diri. Salah satu kompromi dari pertemuan itu adalah  usulan pembentukan komite reformasi yang mengatur pelaksanaan pemilu darurat. Nurcholish diajak untuk terlibat tetapi menolak. Pendekatan yang sebenarnya dilakukan Nurcholish dalam tuntutan agar Soeharto mundur adalah pendekatan non kekerasan. Reformasi menurutnya harus berjalan damai agar rakyat tidak mengalami keterpecahan dalam memandang pemimpinnya, tidak membiasakan diri mengganti pemimpin dengan kekerasan, dan memantapkan kehidupan  berbangsa sesuai dengan  undang-undang.[14]

Dalam kepemimpinan B.J. Habibie, Nurcholish diangkat menjadi ketua Panitia Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (P3KPU) yang menggantikan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang kehilangan kredibilitas. Dalam keterbatasan  waktu,  banyak partai yang tidak lolos dalam verifikasi menuju pemilu 1999. Akan tetapi tetap terjadi lonjakan jumlah, yaitu mencapai 48 partai. Menuju pemilu itu, wacana mengenai krisis kepemimpinan nasional menguat. Rakyat berusaha mencari tokoh-tokoh yang terbukti bersih secara moral dan politik. Dari beberapa tokoh, Nurcholish tampil sebagai salah satu tokoh yang dianggap memenuhi kriteria itu. Akan tetapi, Nurcholish memandang bahwa yang  menjadi presiden adalah mereka yang berkecimpung (berjuang) dalam partai politik dan mempunyai massa pendukung.[15]

C.POKOK-POKOK PEMIKIRAN

1.Sekilas Demokrasi[16]

Demokrasi berasal dari kata Yunani demokratia. Demos berartirakyat. Kratio berarti pemerintahan. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengakui hak segenap anggota masyarakat untuk mempengaruhi keputusan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung.[17] Demokrasi mempunyai beberapa bentuk seperti demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung yang efektif dalam lingkup kecil. Demokrasi langsung adalah sebuah bentuk pemerintahan yang mana wewenang untuk membuat keputusan politis melibatkan seluruh warga negara, bertindak di bawah prosedur mayoritas.[18] Sedangkan demokrasi perwakilan adalah sebuah bentuk pemerintahan yang mana hak yang sama bagi seluruh  warga negara direpresentasikan oleh wakil-wakil yang dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat.[19]

Lembaga-lembaga hakiki dalam demokrasi perwakilan adalah lembaga-lembaga yang menjamin pemilihan pemimpin secara teratur dengan kebebasan memilih, kebebasan untuk beroposisi, kebebasan berbicara dan pers, pemeliharaan hak kemerdekaan sipil dan minoritas.[20]

Menurut  Franz Magnis Suseno, legitimasi yang tepat bagi demokrasi adalah kedalautan rakyat, yaitu bahwa berdasarkan kesamaan semua anggota masyarakat, sebagai manusia, wewenang untuk memerintah rakyat harus berdasarkan penugasan dan persetujuan para warga masyarakat sendiri. Meskipun demikian kekuasaan yang disetujui rakyat itu mesti tetap dalam kontrol rakyat melalui lembaga perwakilan. Dan terhadap kekhawatiran bahwa demokrasi dapat  jatuh dalam diktator mayoritas, pembatasan didasarkan atas dasar pengakuan akan hak-hak yang sama bagi setiap warga masyarakat dalam negara.[21]

2.Wacana Demokrasi Dalam Islam  Indonesia

Jika menelisik dasarnya, beberapa gagasan demokrasi mempunyai kesamaan dengan konsepsi politik Islam. Bahtiar Effendy mengangkat persamaan-persamaan dasar antara Islam dan demokrasi. Hal itu terutama telah tampak dalam penyelenggaraan pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah, yang bersifat egaliter dan partisipatif. Ada juga prinsip etis yang diulang-ulang dalam Al-Quran, yaitu prinsip keadilan (al-adl), prinsip kesamaan (al-musawah), dan prinsip musyawarah atau negosiasi (syura).[22]

Dalam kenyataannya, penyebaran konsep demokrasi a la Barat tidak terlepas dari politik ekspansionis Barat. Oleh karena itu, tidak dipungkiri bahwa ada kelompok tertentu dalam Islam yang menentang demokrasi. Sementara itu, kelompok yang mengapresiasi demokrasi tidak terlepas dari proses kreativitas berpikir yang dilakukan secara terbuka tanpa prasangka terhadap nilai-nilai dari luar Islam.[23]

Bagi konteks Indonesia,  demokrasi adalah sesuatu yang sangat relevan. Hal itu amat erat kaitannya dengan pluralitas bahasa, agama, budaya, dan ras. Dalam demokrasi, hal itu mendapat tempat dan perlindungan. Dengan melihat kenyataan bahwa umat Muslim adalah mayoritas, pemilihan demokrasi sebagai sistem politik adalah suatu pencapaian yang luar biasa. Memang tidak disangkal bahwa pergulatan antara golongan nasionalis dan golongan Islamis telah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia pada awal kemerdekaannya.[24]

Pemikiran Nurcholish mengenai demokrasi lahir dari kenyataan bahwa ia mendukung demokratisasi di Indonesia. Nurcholish termasuk dalam kelompok pemikir Muslim yang berhasil menemukan kesesuaian nilai-nilai Islam dan demokrasi.

3.Demokrasi Indonesia  menurut Nurcholish

Dalam Pintu-pintu Menuju Tuhan, Nurcholish  mengkritisi pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang mana seringkali orang-orang yang mengembar-gemborkan demokrasi ternyata kadang bertindak  menipu rakyat  dan menjadi diktator. Nurcholish menulis:

“Setelah hampir setengah abad merdeka, bicara tentang demokrasi di negeri kita ibarat mengunjungi sebuah rumah antik,…, demokrasi antik di Indonesia bukan ide dasarnya, melainkan kontroversinya. Dalam sejarah sekitar proklamasi, kita dapati masalah demokrasi telah menjadi bahan perdebatan sengit antara para pendiri republik. Kita kenal jargon-jargon mereka: “dewan,” “perwakilan,” rakyat,” “majelis,” “musyawarah,” “mufakat,” dan seterusnya. Juga ada pinjaman yang lebih kontemporer: “delegation of authority, “rule of law,” “majority rule and minority right”, dan entah apa lagi. Kita kenal semuanya. Tapi rasanya tidak mungkin kita mengakui benar-benar mengerti maksudnya, apa lagi menggambarkan dengan tepat bagaimana masing-masing yang mengklaim demokrasi itu bertingkah laku.”[25]

Nurcholish mengambil contoh bahwa Bung Karno yang dengan kemampuan retoriknya membela demokrasi tetapi ia jatuh dengan tuduhan sebagai diktator karena membiarkan usaha kultus individu terhadap dirinya.[26]

Bagi Nurcholish demokrasi memang suatu sistem politis yang mesti dikembangkan.  Stabilitas politik hanya dapat dicapai dengan penyelenggaran kekuasaan yang demokratis. “Ciri kekuasaan demokratis yang stabil adalah ia memiliki kemungkinan tinggi untuk tetap demokratis dan mempunyai tingkat yang rendah untuk mengalami gangguan kekerasan sosial, baik yang terbuka maupun yang tersembunyi.”[27] Kelanggengan system, ketertiban, legitimasi dan keefektifan adalah tanda stabilitas yang demokratis.[28]

Nurcholish tidak menolak bahwa demokrasi memang cukup culit dilaksanakan dalam masyarakat yang majemuk. Hal itu disebabkan konsensus politik dan keseragaman sosial adalah faktor penting bagi kestabilan demokrasi.

“Setiap bentuk pengaturan politik yang tangguh dan absah, lebih-lebih lagi yang demokratis, memerlukan ikatan bersama yang antara lain berbentuk kesetiaan dasar, suatu komitmen yang lebih menggerakkan perasaan, yang lebih terasa hangat dalam lubuk jiwa daripada seperangkat prosedur.”[29]

Menurut Nurcholish, konsensus dalam politik memang dapat juga beresiko sebab demokrasi menjadi tidak sehat dengan banyaknya konsensus. Maka demokrasi yang stabil memerlukan perimbangan yang wajar antara konsensus dan perbedaan, atau malah konflik. Hanya saja, konflik mesti bertujuan sebagai proses belajar bagi persoalan yang sulit diatasi.[30]

Dalam menyeimbangkan konsensus dan konflik, dibutuhkan pemimpin yang cakap.  Dalam hal ini, kehendak politik pemimpin turut menentukan. Pemimpin tidak hanya memberi teladan tetapi juga belajar dari rakyat. Memang dapat terjadi bahwa pemimpin bertindak demi “menjilat” orang banyak.  Akan tetapi hal itu mesti dihindari. Selain itu itikad baik pemimpin mesti diwujudkan dalam tindakan nyata. Dalam merumuskan tindakan nyata itu, pemimpin mesti mengakomodasi kebebasan rakyat untuk menyatakan pendapat dalam dialog demi tercapai komitmen dan tanggung jawab bersama.[31]

Bagi kenyataan faktual Indonesia yang majemuk, Nurcholish memandang bahwa Islam dapat menjamin keberlangsungannya.  Hal itu tak terlepas ciri inklusif Islam, yaitu bahwa Islam menghendaki  suatu sistem yang menguntungkan semua orang. Dalam perjalanan sejarahnya, Islam telah mempraktekkan nilai-nilai semacam prinsip toleransi agama dan kebebasan beribadat, penghargaan kepada warisan budaya kelompok lain, penghargaan kepada hak-hak sah pribadi, dan sikap yang positif terhadap ilmu pengetahuan.[32]

Menurut Nurcholish, adanya Pancasila dan UUD 1945 telah diterima oleh umat Muslim Indonesia. Sejauh ini, kedua pilar itu telah mampu menjamin kebaikan konstitusional bagi keseluruhan bangsa. Pada hakekatnya, Pancasila dan UUD 1945 diterima masyarakat Muslim karena dua pertimbangan:….“Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam. Kedua, fungsinya sebagai poin kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama.[33]

Demokrasi sebagai Prinsip dan Aturan Permainan

Dalam menghadapi kenyataan Indonesia, Nurcholish melihat demokrasi sebagai system yang cocok.

“Tentu saja kita memilih demokrasi sebagai ideologi politik. Dan kita memilih demokrasi sebagai ideologi tidak hanya karena pertimbangan prinsipil –yaitu karena nilai demokrasi itu menurut kita dibenarkan dan didukung oleh semangat Islam- tetapi juga karena fungsinya  sebagai aturan permainan politik yang terbuka.”[34]

Menurut Nurcholish, demokrasi memungkinkan adanya aturan permainan politik yang terbuka yang kemudian memungkinkan sistem politik Indonesia dapat menjalankan pengawasan terbuka terhadap pelaksanaan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan yang menyimpang dari kepentingan rakyat. Pengawasan itu penting dilaksanakan karena dalam usaha mewujudnyatakan garis-garis besar konstitusi, akan terjadi tarik-menarik kepentingan.[35]

Bagaimana pun juga demokrasi berkembang dalam proses harian hidup masyarakat Indonesia.  Antara keadaan masyarakat Indonesia dan cita-cita demokratis memang terdapat  gap. Oleh karena itu, proses demokratisasi harus selalu didorong. Dalam usaha itu, suatu masyarakat disebut demokratis jika nilai-nilai demokratis dikembangkan. Nilai-nilai itu misalnya pengakuan hak-hak asasi manusia, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, tertib dan keadilan hukum, dan tersedianya kesempatan yang merata.[36] Dalam pandangannya ini, Nurcholish hendak menyatakan bahwa demokrasi merupakan kategori dinamis.  Demokrasi  menjadi identik dengan proses demokratisasi. Hal ini menjadikan bahwa negara paling demokratis pun dapat dicap tidak demokratis jika mengalami kemandekan dalam memperjuangkan nilai demokrasi. Bagi konteks Indonesia,  pencapaian  kualitas demokrasi yang lebih baik hanya tercapai sejauh tampak dalam usaha-usaha pengkonkretan nilai  demokratis.[37]

Nurcholish juga memandang bahwa demokrasi Indonesia memuat beberapa hal penting. Pertama, demokrasi Indonesia tidak mungkin tanpa adanya Pancasila dan UUD 1945 sebagai prinsip-prinsip yang dipraanggapkan sebagai dengan sendirinya benar. Kedua, demokrasi tidak mungkin dijalankan tanpa adanya stabilitas keamanan negara.[38] Dalam pendapat kedua ini, Nurcholish bermaksud menyinggung peran aparat keamanan dalam demokrasi Indonesia.

Berkaitan dengan Pancasila, Nurcholish menyebut bahwa  Pancasila adalah modal untuk mewujudkan demokrasi Indonesia.  Pancasila memberi dasar dan prasyarat asasi bagi demokrasi dan  tatanan politik Indonesia. Pancasila menyumbang beberapa hal penting.

“Pertama, adanya orientasi hidup transendental. Kedua, ikatan batin pada nilai-nilai kemanusiaan. Ketiga, kesadaran akan tanggung jawab bersama. Keempat, pandangan yang mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi. Kelima, di tengah antara yang empat itu,  prasarana dan wadah persatuan dan kesatuan bangsa.”[39]

Demokrasi sebagai cara hidup

Dengan menerima demokrasi sebagai sistem politis, adalah suatu tuntutan bagi masyarakat Indonesia menjadikan demokrasi sebagai cara hidup (way of life).  Tuntutan itu meskipun telah tampak dalam kehidupan berbangsa, tetapi tetap harus selalu diperjuangkan.

Nurcholish mengidentifikasi beberapa hal bagi perwujudan konkret demokrasi Indonesia. Pertama, pentingnya kesadaran kemajemukan. Hal ini tidak berarti menerima kemajemukan bangsa Indonesia  begitu saja tetapi menerimanya secara aktif.  Dalam cara hidup demokratis, setiap individu mengarahkan dirinya kepada persatuan dan kesatuan yang diperoleh secara kreatif  dari dinamika dan kemajemukan masyarakat. Setiap orang memelihara dengan teguh keanekaragaman.[40]

Kedua, musyawarah. Menurut Nurcholish, musyawarah menuntut adanya kedewasaan untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan kalah suara. Semangat musyawarah menuntut agar setiap orang menerima kemungkinan terjadinya penerimaan dan penolakan pendapat. Dalam hal ini, dituntut kedewasaan untuk mengemukakan pendapat, untuk mendengarkan pendapat orang lain, dan kemungkinan untuk menerima pendapat yang lebih baik. Kebiasaan untuk mengkritik secara sehat perlu dikembangkan. [41]

Ketiga, cara-cara yang sejalan dengan tujuan. Menurut Nurcholish adanya ungkapan “tujuan menghalalkan cara” adalah suatu kritik terhadap orang-orang yang tidak memperdulikan pertimbangan moral dalam tindakannya. Cara hidup demokratis mewajibkan suatu cara yang sejalan dengan tujuan. Dalam argumen ini, Nurcholish bermaksud menyinggung pentingnya akhlak. [42]

Keempat, permufakatan yang jujur dan sehat. Menurut Nurcholish, masyarakat demokratis menuntut kemampuan untuk menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat. Oleh karena itu, setiap masyarakat Indonesia dituntut untuk tulus, berani terbuka terhadap  orang lain. Kelima,  pemenuhan kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan, bagi segenap rakyat Indonesia. Keenam, kerjasama antar warga masyarakat dengan dasar sikap saling mempercayai. Dalam hal ini, pengakuan akan kebebasan nurani, persamaan hak dan kewajiban, dan tanpa perasaan curiga adalah nilai yang harus diperjuangkan.[43]

Ketujuh, pentingnya pendidikan demokrasi. Nurcholish memandang bahwa hal ini perlu diperjuangkan. Hal ini tidak bermaksud menganjurkan proses indoktrinasi konsep demokrasi tetapi bahwa nilai-nilai universal demokrasi mesti disatukan dalam sistem pendidikan. Hal ini dikarenakan bahwa demokrasi itu bukan system yang bekerja dengan sendirinya tetapi harus dibiasakan dan diperjuangkan.[44]

Demokrasi  dan Masyarakat Madani

Menurut Nurcholish, demokrasi memang menampakkan salah satu sisinya dalam pemilihan umum yang bebas dan pemberian suara secara rahasia. Akan tetapi, demokrasi tidak berhenti disitu. Demokrasi mesti “tinggal” di tengah masyarakat. Masyarakat itulah yang disebut masyarakat madani (civil society). Dalam masyarakat madani, terdapat berbagai perserikatan, persatuan, federasi yang bergabung untuk menjadi perisai antara negara dan warganya.[45]

Dalam kenyataannya, civil society lebih dari sekadar campuran berbagai bentuk asosiasi. Civil society membutuhkan kualitas civility, yang mana tanpanya lingkungan hidup sosial akan hanya terdiri dari faksi-faksi, dan serikat-serikat rahasia yang saling menyerang. civility mengandung makna toleransi, kesediaan menerima berbagai pribadi,  untuk menerima perbedaan, juga kesediaan untuk menerima bahwa sesuatu persoalan dapat saja tak terpecahkan.[46]

Menurut Nurcholish, meskipun masyarakat madani dapat berfungsi sebagai oposisi terhadap pemerintah, pemerintah mesti tetap menjalankan fungsinya sebagai pemegang hukum, pembuat aturan, dan penertib masyarakat madani karena  civil society bukanlah pemerintah.[47]

D.TANGGAPAN  ATAS KONSEP NURCHOLISH

Dalam konsepnya tentang demokrasi sebagai prinsip dan aturan main, Nurcholish memperlihatkan suatu kebulatan pemikiran  bahwa demokrasi sebagai sistem politis yang relevan bagi Indonesia ini harus diperjuangkan. Hal ini merupakan suatu sikap yang tepat karena untuk mewujudnyatakan pancasila dibutuhkan suatu sistem yang menjamin  hak seluruh warga. Hal itu kemudian dipertegas Nurcholish dalam konsep tentang demokrasi sebagai cara hidup. Apabila diperhatikan secara seksama, Nurcholish sebenarnya (hanya) membahasakan kembali Pancasila secara lebih konkret. Dapat dikatakan bahwa demokrasi  Indonesia tak lain adalah dinamika pengejawantahan Pancasila ke dalam cara hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi berperan dalam proses pengejawantahan itu. Sedangkan substansi yang diejawantahkan adalah Pancasila.

Dalam pemikirannya tentang demokrasi dan masyarakat madani, Nurcholish menyajikan suatu perspektif bagi  ruang perwujudan konkret demokrasi selain pemilihan umum. Bagi konteks Indonesia, anjuran agar negara menjalankan fungsinya dalam menghadapi kelompok-kelompok tertentu adalah sesuatu yang relevan. Bagaimana pun tanpa pengontrolan negara, kelompok-kelompok dalam masyarakat madani akan bertindak, beroposisi dengan pemerintah semaunya.

Selain itu, pemikiran Nurcholish tidak akan terlepas dari pemahaman keislamannya sebab titik tolak pemikirannya adalah bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, corak keislaman dalam pemikirannya, yang tidak secara eksplisit terungkap dalam tulisan di atas, kiranya menunjukkan bahwa Nurcholish mampu membahasakan unsur-unsur dasar Islam dalam demokrasi.

E.PENUTUP

Perjuangan menegakkan demokrasi di Indonesia masih membutuhkan usaha-usaha yang lebih giat. Nurcholish Madjid telah menunjukkan niatnya lewat sumbangan pemikiran-pemikirannya. Bagi masyarakat Indonesia  yang majemuk, proses demokratisasi mesti ditopang oleh niat yang tulus sebab antara konsensus dan konflik terdapat efek seperti tak terakomodasinya kepentingan kelompok tertentu.

Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman kehidupan bernegara mesti betul-betul menjadi substansi demokratisasi. Dengan demikian, demokrasi Indonesia mempunyai tujuan yang jelas, yaitu tercapai cita-cita bangsa yang termuat dalam Pancasila dan UUD 1945. Nurcholish telah menegaskan bahwa demokrasi mesti menjadi cara hidup (way of life) masyarakat Indonesia. Pendapat ini memberi harapan bahwa dalam mewujudkan cita-cita Pancasila dan UUD 1945, masyarakat Indonesia bergerak dalam koridor yang  tepat, yang menghargai pluralitas, dan yang menghargai kebebasan dan hak-hak asasi manusia.  Koridor itu adalah demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

“Democracy” in The New Encyclopaedia Britannica, 15 th Edition Volume 4,  Chicago: The University of Chicago, 1990

“Demokrasi”  dalam  Ensiklopedi Indonesia, Edisi Khusus CES-HAM Jilid 2, Jakarta: P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve, (tanpa tahun).

Effendy, Bahtiar.  “Islam: Eksistensi Agama Dalam Politik Indonesia”, dalam  Agama dan Demokrasi: Kasus Indonesia, diedit SP. Lili Tjahjadi, Yogyakarta: Kanisius, 2011

Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina,1999

________________.  Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta:Paramadina, 1995

Magnis-Suseno, Franz. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dasar kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001

Urbaningrum, Anas. Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta: Republika, 2004

[1] Abdurrahman Wahid   yang acapkali disapa Gus Dur adalah tokoh besar Islam Indonesia yang pernah menjabat sebagai presiden Indonesia yang ke-4.  Gus Dur terkenal dengan keberpihakannya pada kaum minoritas dan juga terkait teologinya yang inklusif. Salah satu tulisan tentang Islam termuat dalam Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita. Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

[2] Hasyim Asy’ari adalah kakek Gus Dur. Ia terkenal sebagai tokoh Islam Nasionalis dan merupakan pendiri Nadhatul Ulama, sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia.

[3] Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Republika, 2004, hlm. 31.

[4] Ibid., hlm.31-32

[5] Ibid., hlm.33

[6] Ibid., hlm.34

[7] Ibid., hlm.35-37

[8] Ibid., hlm.45-46

[9] Ibid., hlm.53-54

[10] Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina,1999, bagian Biodata pengarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun