Mohon tunggu...
David Edison
David Edison Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Public Speaker

Alumnus STF Driyarkara Jakarta, Graduate 2014. Tertarik dengan masalah humanitas karena manusia pada kenyataan asalinya merupakan Subjek pada dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Katolik: Liberal atau Konserfatif...?

1 April 2012   13:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:09 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock




Pengantar

Dalam sejarahnya, Gereja Katolik Roma menghadapi tegangan berikut. Pada satu sisi, ada anggota gereja yang berusaha mempertahankan hal-hal tertentu dalam gereja dan menolak adanya perubahan radikal. Orang-orang itu  menganut paham  konservatisme.  Pada sisi lain, ada anggota gereja yang menginginkan adanya perubahan dalam gereja bahkan kalau perlu menghilangkan hal-hal yang telah lama dipertahankan. Orang-orang itu menganut paham liberalisme.

Liberalisme

Konsep liberalisme berkembang  menjadi sebuah ideologi atau pandangan filsafat yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai yang utama dalam  hidup.Secara umum, liberalisme merupakan usaha untuk menciptakan suatu  masyarakat yang bebas dan dicirikan dengan adanya kebebasan berpikir bagi tiap-tiap individu.

Liberalisme juga  mempunyai penekanan terhadap manusia yang tidak hanya berhak mengusahakan masyarakat yang bebas dari kekuasaan negara  yang kurang mengindahkan hak-hak asasi manusia, melainkan juga membebaskan diri dari kuasa rohani yang tidak mendapat mandat dari umat.

Pemikiran liberal mempunyai akar  panjang dalam sejarah peradaban Barat, terutama dalam kaitannya dengan Kekristenan. Hal itu ditandai munculnya gerakan Reformasi dalam Gereja, misalnya Protestantisme. Gerakan itu berkembang dalam konteks zamannya, seperti bangkitnya nasionalisme, keterpurukan dalam bidang ekonomi, kelangkaan karakter dan spirit leadership dalam gereja, dan kebobrokan moralitas hirarki Gereja. Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir renaissance (1400-1600) seperti Machiaveli (1469-1527). Pusat perhatian para pemikir renaissance adalah manusia. Mereka menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.  Di Perancis, liberalisme mulai muncul setelah berkembangnya paham Gallikanisme. Gallikanisme merujuk pada sosok doktrin yang menegaskan tentang kebebasan sepenuhnya Gereja Katolik di Prancis, dari kekuasaan Gerejawi Paus di Roma. Gagasan  liberalisme kemudian berkembang dalam dan sesudah revolusi Perancis (1789).

Konservatisme

Konservatisme merupakan paham yang cenderung mempertahankan kelangsungan situasi sosial-politik dan kultural yang ada. Konservatisme  juga dapat dikatakan sebagai  kecendrungan untuk mempertahankan tradisi dan institusi yang telah teruji dalam waktu dan pengalaman, dan hanya ingin perubahan secara bertahap dan secara jarang.

Paham konservatisme dapat berasal dari kecenderungan umum untuk tidak banyak melakukan perubahan terhadap hal-hal yang ada, atau demi kepentingan yang diperoleh jika hal-hal tersebut berlangsung terus. Konservatisme juga dapat berdasarkan pada paham-paham tertentu tentang negara dan masyarakat, misalnya penghargaan terhadap nilai-nilai bersejarah, pengertian tradisional tentang fungsi kemasyarakatan manusia, yang semua berjalan sejajar dengan kecurigaan terhadap kenalaran manusiawi.

Konservatisme muncul sebagai reaksi atas gagasan-gagasan liberal dalam revolusi Perancis.    Dalam perkembangannya, konservatisme muncul sebagai suatu sikap atau alur pemikiran yang khas. Meskipun demikian, dapat pula dikatakan bahwa bangkitnya kecenderungan konservatif sudah terjadi lebih awal, misalnya masa-masa awal zaman Reformasi Gereja.

Dinamika Liberalisme dan Konservatisme dalam Sejarah Gereja

Dalam Gereja, dinamika liberalisme dan konservatisme tampak dalam gagasan-gagasan yang berlawanan. Kelompok liberalis menuding konservatisme sebagai ketidaksudian untuk menjawab tantangan nasionalisme, ketidaksudian gereja untuk belajar dari sejarahnya sendiri yang melakukan reposisi tiada henti dalam hubungannya dengan negara. Kelompok liberal menuduh konservatisme sebagai sesuatu yang tidak relevan karena tidak mempertimbangkan multikulturalisme yang adalah suatu kenyataan.

Kelompok konservatif bersikukuh karena menganggap bahwa di luar kekristenan tidak ada kebenaran absolut tetapi relatif saja. Mereka juga menuduh bahwa liberalisme memperlihatkan kerapuhan insani dan ketidakmampuan untuk berpegang pada Injil Allah, dan menjadi penyebab kekacauan dalam gereja.  Kelompok konservatif yakin bahwa Wahyu Ilahi itu melampaui humanitas, abadi, dan sempurna. Tokoh yang cukup terkenal dengan gagasan konservatisme adalah Don Felix Sarda y Silvany. Ia menulis buku Liberalism is a sin, yang menguraikan bahwa akar kekacauan adalah liberalisme.

Salah satu tegangan menarik dalam Gereja adalah  The Civil Constitution of the Clergy (12 Juli 1790), yang ditetapkan dalam revolusi Prancis, yang berisikan subordinasi Gereja Katolik Roma di Perancis terkait kedudukan pemerintah Perancis. Hal itu menimbulkan resistensi, misalnya runtuhnya monarki  mematangkan lahirnya “aliansi suci”, yang muncul karena cita-cita akan kekristenan yang tak terpecahbelahkan dan juga untuk mengembalikan lagi pola monarkianisme.  Selain itu, deklarasi hak asasi manusia mendorong munculnya gagasan untuk menghapus agama tertentu sebagai agama negara.

Dalam sejarah gereja, dinamika konservatisme dan liberalisme secara tidak langsung diafirmasi oleh tokoh, dokumen, dan konsili. Tokoh itu misalnya, Hugues Felicite Robert De Lammenais, Paus Pius IX. Dokumen misalnya Syllabus Errorum. Konsili misalnya Konsili Vatikan I.

a.Hugues Felicite Robert De Lammenais

Lammenais adalah seorang pastor, penulis, filsuf, pengikut Ultramontanisme, dan sekaligus kemudian menjadi perintis gagasan liberalisme dalam Gereja. Ia lahir dari kelas menengah ke atas. Ia ditahbiskan pada 1816. Ia melakukan studi keagamaan yang serius. Adapun studi itu dijalankannya dalam nuansa apologetis dengan tujuan untuk mengembalikan kepercayaandiri Gereja yang telah hilang dalam revolusi Perancis. Hal itu tampak mirip dengan gagasan dalam ultramontanisme yang diikutinya.

Dalam perkembangannya, Lammenais berubah menjadi agak liberal. Dari studi sejarah, Lammenais menjadi yakin bahwa persatuan dengan kekuasaan sipil tidak membantu agama. Ia berkesimpulan bahwa kebangkitan kembali Katolik akan terjadi jika Gereja dibebaskan dari ketergantungan pada negara dan aturan-aturannya. Segera Lammenais memikirkan  Katolik yang bersekutu dengan liberalisme.

Dia kemudian mendirikan harian L’Avenir, yang menjadi corong segala gagasannya. Menurut Lammenais, kebebasan dan Kekristenan itu dibutuhkan secara sama. Ia menyerukan juga kebebasan agama yang penuh, kebebasan Gereja dalam pendidikan, kebebasan pers dan asosiasinya,  dan desentralisasi pemerintahan. Akan tetapi meskipun hak-hak Gereja diserukan, ia juga menyerukan pemisahan Gereja dan Negara. Negara mesti tidak menjalankan otoritasnya atas kelompok religius, nominasi uskup diserahkan kepada Gereja, dan klerus tidak menerima gaji dari publik.

Gagasan-gagasan Lammenais menimbulkan pertentangan dari pemerintah dan uskup-uskup Perancis yang mendukung paham Galikanisme.

Pada Desember 1831, Lammenais dan dua pengikutnya (Lacordaire dan Montalembert) berangkat ke Roma untuk bertemu Paus Gregorius XVI. Di Roma mereka menyampaikan gagasan mereka.Tahta Suci melakukan studi mendalam mengenai tulisan-tulisan Lammenais.

Akhirnya pada 15 Agustus 1832, Paus  Gregorius XVI mempublikasikan   ensiklik Mirari vos, yang berisikan larangan terhadap gagasan-gagasan setan yang termuat dalam L’Avenir. Dalam satu surat kepada Lammenais, Tahta Suci menjelaskan alasannya sebagai berikut. Pertama, gagasan-gagasan itu  seharusnya tidak diangkat kecuali oleh Negara dan Gereja, apalagi secara publik. Kedua, doktrin mengenai kebebasan sipil dan politis cendrung berbau revolusi. Ketiga, pandangan mengenai kebebasan beribadah dan pers bertentangan dengan ajaran gereja. Keempat, ajakan untuk bekerja sama antara Katolik dan semua orang yang bekerja untuk kebebasan, sangat mengganggu Bapa Suci.

Setelah semuanya ini, Lammenais mengubah sikapnya terhadap kepausan dan mulai mempropangandakan ide-idenya ke arah sekular. Ia merasa sakit hati dan akhirnya meninggalkan imamatnya.

b.Syllabus Errorum

Syllabus Errorum atau disebut juga Syllabus of Error adalah sebuah dokumen yang diumumkan bersamaan dengan Ensiklik Quanta Qura, pada 8 Desember 1864. Judul lengkap dokumen ini dalam bahasa Inggris adalah “A syllabus containing the most important error of our time which have been condemned by our Holy Father Pius IX in allocutions, at consistories, in encyclicals and other apostolic letters.”

Syllabus Errorum berisikan 80  kesalahan yang dikutuk Paus Pius X. Syllabus Errorum disusun dalam sepuluh bagian, yaitu pantheisme, naturalisme, dan rasionalisme absolut (1-7), rationalisme moderat (8-14), indifferentisme dan latitudinarianisme (15-18), sosialisme, komunisme, kelompok rahasia, kelompok biblika, kelompok klerus-liberal, dan berbagai kesalahan mengenai gereja dan hak-haknya (19-38), kesalahan-kesalahan negara dan relasinya terhadap gereja (39-55), Kesalahan-kesalahan mengenai dasar dan etika kristiani (56-64), kesalahan-kesalahan mengenai perkawinan Kristen (65-74), kesalahan-kesalahan mengenai kekuasaan sipil atas kepausan (75-76), dan kesalahan-kesalahan yang merujuk pada liberalisme modern (77-80).

Dari sudut pandang dinamika liberalisme dan konservatisme, Syllabus Errorum mempunyai peran penting dalam sejarah Gereja karena serangannya terhadap ‘udara’ rasionalistik abab ke-19.  Dengan mempertahankan hak dasar dan privilese  Gereja, Syllabus Errorum mencegah kerusakan yang disebabkan oleh kebebasan dan klaim yang berlebihan mengenai kekuatan akal budi.

c.Konsili Vatikan I (1869-1870)

Konsili Vatikan I juga memperlihatkan dinamika konservatisme dan liberalisme. Konsili Vatikan I diadakan atas inisiatif Paus Pius IX. Konsili dimaksudkan untuk menanggapi rasionalisme,  hubungan rasio  dan iman, hal-hal yang juga diangkat dalam syllabus, dan juga mengenai infalibilitas Paus. Sebelum konsili, Paus Pius IX telah mengumumkan Dogma Maria Dikandung Tanpa Noda (1854), Syllabus Errorum (1864). Hal itu kiranya dapat dikatakan sebagai persiapan menuju infalibiltas.

Konsili Vatikan I menghasilkan beberapa hal, yaitu: pertama, infalibilitas paus. Kedua, konstitusi dogmatik tentang iman Katolik. Konstitusi ini berisikan penegasan misalnya Allah sebagai pencipta segala sesuatu. Iman dan rasio tidak bertentangan kendati logikanya mempunyai alur tersendiri. Ketiga, konstitusi dogmatik tentang Gereja Kristus. Konstitusi ini berisikan: pertama, dasar institusi adalah primat apostolik Santo Petrus. Kedua, keabadian primat Santo Petrus dalam Kepausan Romawi. Ketiga, nilai dan esensi primat paus, yaitu bahwa paus dan Petrus dipilih langsung oleh Yesus Kristus. Keempat, batasan dan ajaran tentang infalibitas paus, yaitu bahwa hanya jikalau paus berbicara ex cathedra, dan  hanya dalam dua hal, yaitu doktrin mengenai iman dan moral.

Hasil-hasil Konsili Vatikan I tampaknya memenangkan kelompok konservatisme, terutama gagasan kelompok Ultramontanisme. Akan tetapi, secara resmi konsili ini tidak pernah ditutup karena pemerintah Italia menyerbu konsili,  menahan paus di Vatikan, dan mengambil alih harta kepausan.

Refleksi Kritis dalam Konteks Zaman Sekarang

Dari berbagai uraian di atas kiranya jelas bahwa perlu dihindari kecenderungan untuk menekankan paham tertentu dan kurang mengindahkan paham yang lain. Itu berarti orang boleh terbuka dengan perubahan seperti yang dikedepankan oleh liberalisme ataupun tetap konservatif. Hal yang perlu dihindari adalah pemutlakan salah satu atau keduanya. Sedangkan hal yang dibutuhkan adalah sikap bijaksana terhadap keduanya.

Bersikap bijak terhadap liberalisme tidak berarti melulu terbuka dengan segala perubahan. Gejala tanggap terhadap perubahan merupakan usaha untuk lebih melihat realitas dan konteks zaman yang selalu berubah. Berjalan pada jalur  konservatisme  tidak berarti kembali ke ketertutupan.

Dewasa ini sungguh sangat diperlukan suatu pedoman hidup praksis yang aktual dan kontekstual bagi umat. Khususnya  dalam kaitannya dengan liberalisme dan konservatisme, Gereja  perlu untuk mencegah suatu pemhaman yang terlalu ekstrim terhadap salah satu dari kedua paham tersebut. Selanjutnya, Gereja perlu membuat langkah-langkah untuk merencanakan, menganalisis, merefleksikan, dan mengevaluasi segala sesuatu kebijakandengan tetap memperhatikan perubahan dan kesesuaian dengan tradisi.

Sebagai langkah awal untuk membangun suatu reksa pastoral adalah membaca dan menelusuri sejarah bagaimana komunitas umat beriman tersebut berawal dan bertumbuh.Langkah lain yang perlu untuk dibangun adalah membangun pertimbangan yang merupakan suatu proses diskresi (discernment), proses untuk menegaskan gerakan Roh dan membuat keputusan serta langkah kebijakan. Kebijakanakan menjadi langkah bijak jika mempertimbangkan sungguh berbagai alasan dan memahami sungguh segala persoalan.

Dalam ketegangan antara liberalisme dan konservatisme, perlulah adanya pertimbangan dalam reksa pastoral dalam mengambil jalan tengah yang tidak menjurus ke arah keputusan ekstrim, yaitu menganggap salah satu paham lebih penting daripada paham yang lain. Terlalu terbuka dengan zaman akan membuat Gereja pelan-pelan kehilangan inti imannya karena tradisi yang sehat serlahan-lahan terkikis oleh pengaruh arus dunia sekular. Terlalu menutup diri dengan dunia luar juga tidak baik. Jika Gereja terlalu konservatif maka pelayanan terhadap umat kurang begitu kontekstual karena berbicara mengenai umat tak mungkin lepas dari aspek politik, sosial, dan ekonomi.

Apapun yang menjadi kebijakan dalam tubuh Gereja, yang perlu untuk ditekankan adalah semakin nyatanya kehadiran Kristus dalam hidup umat beriman. Jika Kristus semakin dirasakan hadir, menyertai, dan menuntun,  Gereja sebagai umat beriman  akan semakin hidup  sehingga mendorong adanya aksi yang nyata dalam konteks hidup bersama dengan umat yang lain.

End notes:

Adolf Heuken, “Liberalism,” dalam  Ensiklopedi Gereja Jilid III Kons-Pe, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993.

Hal itu pernah dijelaskan Prof. Dr. A. Eddy  Kristiyanto, OFM, dalam kuliah Sejarah Kristiani 2 pada Jumat, 18 Februari 2011,  di ruang kuliah IV, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.

Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat edisi kedua(Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 57.

Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 163.

“Conservatism,” in The New Encyclopedia Britannica 15th edition Vol. 3, Chicago:  Encyclopedia Britannica, Inc., 1990.

Hal itu pernah dijelaskan Prof. Dr. A. Eddy  Kristiyanto, OFM, dalam kuliah Sejarah Kristiani 2 pada Jumat,  8 April 2011,  di ruang kuliah IV, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun