(Oleh: Aloysia Ayfen Senjaya, Surabaya)
Pemerataan pendidikan seringkali didefinisikan sebagai pemberian kesempatan mengenyam pendidikan secara layak kepada seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali. Kata yang dapat digarisbawahi di sini adalah "layak" dan "seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali".Â
Ketika berbicara mengenai kelayakan, hal yang dipikirkan adalah kualitas; cara untuk memberikan pendidikan yang berkualitas kepada para pelajar. Namun, ketika berbicara mengenai "seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali", kita membahas tentang kuantitas; cara seluruh warga Indonesia mendapatkan pendidikan, entah itu dengan kualitas layak atau tidak, asalkan mereka mendapatkan pendidikan formal.Â
Kebanyakan kita ketika memikirkan masalah pemerataan pendidikan, hanya berhenti pada aspek kuantitas saja. Pendirian sekolah di pelosok-pelosok, penjangkauan pendidikan bagi kaum termarjinalkan, seperti perempuan, masyarakat dengan ekonomi bawah, dan lainnya.Â
Sayangnya, hal seperti ini tidak dapat dirasa cukup untuk memenuhi syarat pemerataan pendidikan sendiri yang memiliki syarat kelayakan yang setara bagi seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali.
Oleh karena itu, pemerataan pendidikan harus disertai pula dengan pemerataan kualitas pendidikan. Namun, pendidikan yang berkualitas seringkali membutuhkan biaya mahal. Sebagai contoh, sekolah montessori yang didasarkan konsep Developmentally Appropriate Practices (DAP) (Armstrong, 2006).Â
Konsep DAP merupakan usaha untuk menciptakan suasana belajar yang mendorong anak untuk menjadi pembelajar aktif dan suasana belajar yang dapat mencerminkan minat dan kemampuan belajar anak. Biaya sekolah Montessori ini berkisar antara 3,5 juta untuk taman kanak-kanak dan 12 juta untuk sekolah dasar.Â
Biaya tersebut merupakan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang harus dibayarkan setiap bulan. Ini tentu tidak bisa dijangkau oleh masyarakat menengah dan ke bawah.
Dari kondisi di atas, muncul pertanyaan, "Bagaimana bisa pemerataan pendidikan dari sudut pandang kualitas dapat terjadi, apabila pendidikan berkualitas saja sulit dijangkau?"Â
Padahal berdasarkan pernyataan Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Erani Yustika, salah satu permasalahan di Indonesia, yaitu jumlah masyarakat menengah ke bawah berada di sekitar 80 persen.
Ini tentu menunjukkan bahwa hampir tidak mungkin seluruh masyarakat Indonesia mendapatkan pendidikan berkualitas, kecuali ada bantuan dana pendidikan. Namun, permasalahannya tidak hanya di dana pendidikan saja, tetapi juga di kemampuan dan cara tenaga pengajar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.Â