Mohon tunggu...
Zen Siboro
Zen Siboro Mohon Tunggu... Freelancer - samosirbangga

Terkadang suka membaca dan menulis. Pencumbu Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat yang Minim Empati Menghadapi Situasi-situasi Kedukaan

18 Maret 2020   05:00 Diperbarui: 18 Maret 2020   06:08 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika mulai merebak sejak awal tahun 2020 Corona menjadi sebuah momok menakutkan di tengah masyarakat dunia. Ketakutan itu terlihat pula pada berbagai negara maju yang warganya ikut terjangkit virus tersebut. Saking krusialnya, tidak sedikit aktivitas internasional yang ditunda dan dibatalkan demi mencegah penularan yang lebih serius.

Sebut saja sebuah negara besar seperti Arab Saudi yang menjadi tujuan Umroh jutaan warga dunia setiap harinya. Atas dasar mencegah penularan virus Covid 19 ini, Arab Saudi sampai menutup sementara kota Mekkah yang menjadi salah satu tujuan ziarah suci terbesar tersebut. Hingga kini pemerintah Arab Saudi belum memberikan pengumuman resmi kapan daerah tersebut akan kembali dibuka untuk umum.

Percaya atau tidak, pemerintah Arab Saudi tentu memahami resiko berkurangnya pendapatan negara atas sikap tersebut. Namun hal tersebut tetap dilakukan sebagai upaya pencegahan penularan virus yang berawal dari Wuhan tersebut. Dengan kata lain pemerintah Arab Saudi paham betul bahwa kesehatan warga negaranya merupakan prioritas utama yang harus diperhatikan.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sejak dua orang di Depok dinyatakan positif mengidap Corona, bangsa ini tidak lepas dari panic attack yang merebak di berbagai daerah di Indonesia. Warga negara secara perlahan berubah menjadi pribadi yang "anti empati" di masyarakat.

Sampai saat ini belum ada travel warning dari pemerintah Indonesia terhadap beberapa negara tertentu sebagai upaya pencegahan penularan Covid 19. Sebab baru saja beberapa hari lalu sejumlah tenaga kerja asing (TKA) berkebangsaan Tiongkok masuk ke Indonesia melalui daerah Sulawesi. Dimana informasi ini dibenarkan oleh pihak imigrasi selaku instansi yang punya kapasitas atas informasi keluar-masuknya warga asing di Indonesia.

Masyarakat Indonesia bisa dibilang terlihat "gamang" dalam menghadapi situasi ini. Belum disiplinnya masyarakat dalam menjaga kesehatan berkombinasi pula dengan minimnya pengetahuan masyarakat akan virus Corona. Hal ini menjadi sebuah fenomena baru di Indonesia yang berakhir pada meningkatnya sikap anti-empati sosial di tengah masyarakat.

Sejak Corona muncul di Indonesia kita bisa melihat babak baru di masyarakat. Masyarakat yang seolah "phobia" Corona terlihat ramai memburu berbagai sembako dalam jumlah banyak dan berlebihan. Seolah Corona adalah serangan nuklir yang mengharuskan kita untuk tinggal di dalam bunker bawah tanah, sehingga perlu mempersiapkan stok kebutuhan hidup dalam jumlah yang sangat banyak.

Memang tidak bisa dipuingkiri bahwa Corona menyebabkan ketakutan di berbagai negara. Namun rasa takut tersebut harusnya diobati dengan pengetahuan rinci tentang Corona. Termasuk penularan, pencegehan, dan penanganan. Dalam hal ini pemerintah sudah beberapa kali merilis informasi penting dan rinci tentang virus ini.

Persoalan utama kita adalah tidak sedikit warga negara yang mungkin tidak membaca informasi tersebut secara rinci. Situasi inilah yang berakibat pada lahirnya sikap antipasti tersebut. Langkanya masker di beberapa daerah menjadi bukti bagaimana warga Indonesia hari ini memilih untuk bersikap "oportunis" dibandingkan rasa empati.

Tidak sedikit pihak-pihak yang menimbun masker dalam jumlah banyak lalu menjualnya kembali dengan harga yang di luar logika. Tanpa adanya pemahaman yang serius tentang Corona, membuat masyarakat awam memburu masker yang diyakini mampu mencegah penularan virus Corona. Lantas apa dampak psikologis atas situasi ini?

Tidak sedikit pekerja bidang kesehatan dan pasien rumah sakit yang memang membutuhkan masker merasa kesulitas untuk mendapatkan stok masker. Akhirnya masker yang dulu digunakan untuk keperluan serius, seolah bergeser menjadi sebuah lifestyle di masyarakat. Hingga yang paling ekstrem tidak sedikit orang yang perekenomiannya mampu, berduyung-duyung ke pusat perbelanjaan untuk mempersiapkan stok makanan dalam jumlah yang sangat berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun