Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Sampai Profesi Guru Dibuat Jadi "Open Recruitment"

27 Mei 2017   22:00 Diperbarui: 28 Mei 2017   16:05 2910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Profesi Guru Ja[caption caption="group WA"][/caption]di “Open Recruitment”, Dholim Banget!
Oleh: Zaki Mubarak

Sebenarnya saya mendengar isu ini berhembus tahun 2010 lalu, dimana pekerjaan guru akan menjadi pekerjaan yang terbuka. Maksud terbuka ini adalah terbuka rekruitmennya (open recruitment), dimana menjadi guru bukan saja hak pemilik gelar sarjana pendidikan, namun pemilik gelar apapun boleh melamar jadi guru. Bagi saya, ini merupakan kedholiman yang nyata yang dilakukan pemerintah terhadap Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK).

Mungkin sangat tendensius bila saya katakan dholim. Tapi tak apalah. Dholim adalah kata yang mewakili ketidak berpihakan terhadap keadilan, dimana adil didefinisikan dengan “menyimpan segala hal pada tempatnya dan melakukan sesuai dengan pekerjaannya”. Dholim dapat diartikan tidak adil yang berarti tidak menyimpan barang pada tempatnya atau tidak mengerjakan sesuatu sesuai dengan pekerjaannya. Fas’alû ahla Ad dzikri in kuntum lâ ta’lamûn (bertanyalah pada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahuinya).

Untuk menguji keajegan saya dalam mengatakan adanya kedholiman pemerintah, atau siapapun yang telah menghembuskan isu ini, saya akan coba mengurai secara logis kenapa profesi guru harus tertutup, closed recruitment. Saya akan membaginya dalam dua dimensi. Sebenarnya masih banyak alasan logis yang bisa saya gunakan untuk mencegah kebijakan ini, namun yang begitu penting saat ini, mungkin dua saja. Yang lainnya di lain waktu.

Pertama dimensi profesionalisme. Kita sudah sepakat bahwa setelah begitu lama guru dianggap bukan profesi dan hanya sebagai pengabdian, maka hari ini sudah harga mati bahwa guru adalah profesi. Ia sama dengan dokter, advokat, akuntan, lawyer, pilot, dan lainnya. Profesi adalah pekerjaan yang harus mengikuti pedomen profesionalisme. Profesionalisme dapat diartikan paham bekerja yang telah memenuhi standar dan kualifikasi tertentu. Ia tidaklah disebut profesional bila tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan untuk pekerjaan tertentu dan tidak memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan secara syah menurut hukum. Hukum di sini bisa berdasarkan hukum pemerintah melalui UU, ataupun melalui asosiasi pekerjaan termaksud.

Guru adalah profesi yang harus memiliki kualifikasi sarjana pendidikan dan memenuhi standar kompetensi guru minimal yang empat (pedagogi, profesional, kepribadian dan sosial. Untuk kasus guru Agama di bawah kementerian agama, ditambah dua; kompetensi kepemimpinan dan spiritual). Keempat kompetensi diajarkan dalam satu rangkaian perkuliahan dimana 60% untuk kompetensi profesional, 40% untuk kompetensi pedagogi dan keduanya dalam bingkai memperkuat kepribadian dan kesolehan sosial melalui tridarma perguruan tinggi. Jadi jelas, bahwa ketika seorang mahasiswa LPTK lulus, dia berhak mendapatkan gelar Sarjana Pendidian (S.Pd.) baik di LPTK umum ataupun LPTK agama (PMA No 1 Agustus tahun 2016).

Bila kita melihat sebuah analogi di fakultas kedokteran, seorang mahasiswa kedokteran ketika lulus ia tidak langsung menjadi dokter. Ia hanya menyandang gelar S.Ked. (Sarjana kedokteran). Bila ia ingin menjadi dokter beneran, baik itu umum terutama spesialis, maka Ia hendaklah memasuki pendidikan bernama KOAS. Pendidikan ini dilakukan kurang lebih satu tahun dan memiliki prosedur yang ketat dan melelahkan. Belajar aktualisasi teoritis ke dalam praktis melalui bimbingan dokter senior adalah salah satu kegiatannya. Ketika Ia dianggap lulus menjadi dokter, maka Ia pun dilantik menjadi dokter melalui sertifikasi resmi asosiasi (misal IDI).

Nah, karena guru saat ini dianggap menjadi profesi, sama halnya dengan dokter, maka guru digiring untuk melakukan hal yang sama dengan dokter. Namun, ada hal yang tidak linier antara guru dengan dokter sebagai profesi. Ini diakibatkan oleh tumpang tindihnya aturan masa lampau. Dalam dunia guru yang dulu dianggap pengabdian dan memiliki prosedur yang baku bahwa kuliah di LPTK akan berakhir dengan dua ijazah yakni Ijazah sarjana dan Ijazah Akta IV. Ijazah yang kedua ini adalah ijazah pengakuan menjadi guru. Pendeknya, ketika lulus sarjana, maka otomatis menjadi guru. Istilah lainnya adalah gelar S.Pd dengan bonus menjadi guru secara otomatis. Keluar LPTK maka dipanggil langsung bu guru atau pak guru. Hal ini sangat berbeda dengan dokter.

Ketika hal ini disesuaikan dengan profesi lain, maka profesi guru memiliki masalah. Masalah pertama adalah begitu banyak guru yang telah menjadi guru tanpa memiliki sertifikat guru (pendidik). Maka dilakukanlah sertifikasi guru dalam jabatan yang prosesnya bisa portofolio atau Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG). PLPG ini menjadi pelatihan yang sistematis tetapi bersifat one shot training (sekali jadi seumur hidup). Bila lulus, maka jadilah ia guru seumur hidup. Lalu kemanakan Akta IV? Nah inilah masalahnya. Tumpang tindih pengakuan pemerintah tentang Akta IV dan Sertifikat hasil PLPG menjadi buram dan kadang saling menyalahkan.

Kita sudah sepakat bahwa Akta IV ditiadakan dan beralih ke sertifikat pendidik. Walau saya melihat ada beberapa LPTK yang masih “membodohi” mahasiswanya diberi Akta IV sebagai bonus ijazahnya, saya melihat sitem sertifikasi guru ini berjalan dengan normal dan baik-baik saja. Semua guru menerima dengan baik dan merasa bahwa sistem ini akan menjadi sistem yang lebih baik. Di samping ada stimulus tunjangan profesi guru yang diambil dari 20% APBN, sertifikasi guru ini pun berkembang menjadi lembaga pendidikan tersendiri. Setelah sertifikasi guru yang telah menjabat guru dituntaskan, maka pemerintah melakukan pendidikan khusus yaitu Pendidikan Profesi Guru (PPG). ini mirif dengan KOASnya kedokteran. Itu baik sekali.

Nah, yang tidak baik adalah saat ini ada upaya kebijakan pemerintah untuk menjadikan guru sebagai profesi yang open recruitment. Siapa saja yang ingin menjadi guru, baik penyandang S.Pd. ataupun mereka yang memiliki kualifikasi Sarjana murni boleh mendaftar menjadi guru. S.Pd. harus bersaing ketat dengan sarjana murni dari non LPTK. Bila kita ukur kemampuannya, maka S.Pd. memiliki dua core kemampuan yaitu pedagogical knowledge dan disiplin ilmu yang diajarkan, sedangkan non S.Pd. akan menguasai secara penuh disiplin ilmu yang akan diajarkan. Saya rasa ini tidak adil. Tidak apple to apple.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun