Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pertempuran Sengit di Medan Full Day School

13 Juni 2017   07:34 Diperbarui: 13 Juni 2017   12:56 1728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Kompas.com

Saya tidak berani mengatakan bahwa “pertempuran” atas kebijakan Fullday School (FS) adalah pertempuran antar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Namun, melihat penolakan yang kental dari NU terhadap kader Muhammadiyah di Kabinet sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendi, atas kebijakan 5 hari sekolah dan FS bisa dipersepsikan sebagai pertempuran antar dua ormas terbesar itu. Saya kira itu tidak dibenarkan.

Muhajir Effendi sebagai aktor utama dalam kebijakan ini adalah kader Muhammadiyah yang sangat berhasil di Universitas Muhammadiyah. Ia merupakan pengganti Anies Baswedan, yang “dipecat” oleh Presiden Jokowi satu tahun lalu. Menteri Muhajir disinyalir oleh beberapa kalangan sebagai potong-potong kue kekuasaan Jokowi atas pemerintahannya, di mana di awal pembentukan kabinet, Muhammadiyah ketinggalan gerbong pemerintahan. Dengan memasukan kader Muhammadiyah ini diharapkan pemerintahan Jokowi bisa stabil dan produktif. Saya setuju.

Ada tradisi unik dalam posisi Muhammadiyah dan NU dalam pemerintahan setiap rejim. Dengan ini, saya tidak berarti mengecilkan peran ormas Islam lainnya semisal Persis, Mathlaul Anwar, PUI, Nahdlatul Wathon, DDI dan ormas lainnya, saya hanya mengemukakan persepsi yang hadir dalam fakta politik-ormas kita. 

Sejalan dengan sejarah yang panjang, Kementerian Agama adalah “rumah” politik bagi NU di satu sisi, dan Kementerian Pendidikan adalah “rumah” untuk Muhammadiyah di sisi lainnya. Saya sebut rumah politik, karena mau tidak mau jabatan menteri adalah jabatan politis yang tidak bisa menghindarkan dari kebijakan kompromi politik pemenang pemilu.

Walaupun tidak secara tertulis, “tradisi” ini hadir dalam perpolitikan kita. Adapun ketika era SBY, kemendikbud dipimpin oleh Muhammad Nuh yang dikenal sebagai kader NU, itu merupakan kelainan yang diterima oleh Muhammadiyah. Bila itu terjadi kepada Kemenag, saya tidak tahu reaksi hebat seperti apa yang akan dilakukan oleh para kaum nahdliyin. Dalam konteks ini, kita bisa menyadari bahwa masalah politik-Agama, memang NU lah yang mampu merekatkan semua agama, karena NU lahir dengan core NKRI harga mati, hubbul wathon minal iman, dan anti takfiri (mengkafirkan orang lain). Pantas saja.

Beberapa waktu lalu Pak Mendikbud menjelaskan akan mengimplementasikan FS dengan 5 hari sekolah. FS disinyalir adalah sekolah ideal yang sukses diimplementasikan oleh Muhammadiyah dalam persekolahannya. Penolakan massif organ-organ NU semisal PBNU, Anshor, kader NU yang menjadi bupati (Rembang) dan jamaah NU seperti FKDT (Forum Komunikasi Diniah Takmiliyah) dan lainnya adalah reaksi perlawanan. 

Mereka menganggap kebijakan yang “Muhammadiyah” minded tidak bisa serta merta menjadi kebijakan nasional. Bagi saya, ini adalah seperti “pertempuran” sengit antara dua ormas ini. Walaupun itu tidak seutuhnya benar. Ini hanya prasangka saya saja. Benar atau tidak, wallohu a’lam.

Untuk masuk ke dalam “pertempuran” ini, saya kira kita harus memahami gambaran singkat profil dua ormas ini, terutama dari sisi sistem pendidikan yang di kelolanya. Pertama, NU adalah organisasi tradisional dan kultural. Organisasi ini hadir atas modernisasi pengelolaan saja, karena organisasi ini secara kultural sudah ratusan tahun hadir bersamaan dengan lahirnya Islam di Indonesia, terutama masa ke”wali”an Indonesia.

Dengan modernisasi pengelolaan jamaah nahdliyah ini, maka muncul dua organ NU, yaitu jamaah struktural dan jamaah kultural. Struktural adalah mereka yang menjadi pengurus dari tingkan nasional yang di panggi PBNU, provinsi PWNU, kabupaten kota PCNU sampai Pengurus ranting tingkat desa. 

Kultural adalah mereka yang memiliki tata cara peribadahan NU yang mirif tanpa terikat secara struktur kepada NU. Inilah yang membuat NU menjadi ormas terbesar di Indonesia, dimana dengan sejarah Islam yang panjang di Indonesia ajaran Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) yang diklaim NU sebagai ajarannya sudah dipraktikan oleh mayoritas Islam Indonesia. Jadi, kekuatan NU sebenarnya bukan di struktur, tapi di Kultur.

NU mengemas organisasinya dengan dua hal pokok, yaitu ajaran dan sosial-pendidikan. Yang pertama adalah ajaran. NU mengkomodifikasi ajaran Islam dengan kekhasan fikih, tauhid dan tarikat. Fikih madhab empat, terutama madzhab fikih Syafi’iyah adalah pilihan utama dan sudah lama hadir di Indonesia. Tauhid Asyariah (menengahi qodariah dan jabariah) adalah yang utama dan tarikat Qodiriah (dari Abdul Qodir Jaelani) adalah salah satu yang paling banyak digunakan oleh NU. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun