Mohon tunggu...
Bachtiar Yunizel
Bachtiar Yunizel Mohon Tunggu... Administrasi - Sales Communication Coach

Founder Citra Reksa Tama Education & Business Event, Sales Communication Coach, Trainer lapangan para penjual Sang pembelajar menulis sejak 1993

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Gazhul Fikri", Perang Pemikiran Untuk Siapa?

26 September 2017   11:03 Diperbarui: 26 September 2017   11:13 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gahzul Fikri adalah istilah yang kerap kita temukan ketika membicarakan perjuangan penagakkan kebenaran dalam Islam. Saya lebih memilih menafsirkan Gahzul Fikri kepada perang pemikiran, bukan kepada perang tulisan atau yang kita sebut dengan polemik. Ghazul Fikri dapat juga di pahami sebagai upaya menanamkan suatu konsep kepada kelompok masyarakat.

Inilah demokrasi kita saat ini. Berita dari berbagai sumber tidak lagi sekedar bercerita tentang fakta, tetapi sekaligus mengajak masyarakat pembaca berfikir lebih jauh mengenai apa yang sesungguhnya ada dibalik cerita media itu. Ada beda pendapat tentang pemutaran film G 30/S PKI dan sekaligus segala bentuk analisa mengenai kemungkinan lahirnya kembali gerakan atau setidaknya pemikiran komunis di Indonesia. Ada berita pengiriman 5000 pucuk senjata ke Indonesia di luar koordinasi pihak berwenang. Sebelumnya kita diajak pula terlibat memikirkan apakah LGBT itu suatu pilihan manusiawi normal atau pelanggaran etika yang sangat berat, sebelum itu lagi kita terlibat pula dalam diskusi hangat dalam topik toleransi dan instoleransi dalam beragama termasuk dalam memilih pemimpin.

Bagi rakyat kecil, barangkali cerita cerita diatas dapat digunakan sebagai selingan untuk sejenak melupakan kisah kehidupanya yang semakin tidak indah untuk di nikmati. Tetapi buat sebagian yang lain, inilah kesempatan memperlihatkan eksistensi diri, sehingga bisa tampil dalam banyak media publik memberikan atau di mintai pendapat. Keterkenalan itu semakin mendapatkan jalannya, ketika pendapat tidak biasa mendapatkan justifikasi rasional.

Tetapi apa sebenarnya yang kita perdebatkan. Dalam tataran kehidupan beragama kita telah diberikan kitab suci, sebagai tempat pencarian paling akhir akan kebenaran mutlak. Khususnya bagi pemeluk Islam, jika ada argumen bahwa Al Quran masih perlu ditafsirkan, maka ada kaedah tafsir yang menajaga setiap penafsiran tidak menjadi liar. Sehingga kita tidak menemukan perbedaan tafsir sampai kepada hal yang prinsipil. Jika anda tidak menemukan tuntunan yang lugas dalam kitab suci atau tidak ingin menggunakan kitab suci sebagai dasar hukum, manusia juga memiliki akal budi dalam menilai suatu kebenaran. Menyusun suatu argumen yang dipaksakan logis untuk menutup suatu kebenaran, tidak lebih sebagai upaya membohongi diri sendiri.

Tanyakanlah bagi penggiat LGBT sekalipun, sebagai contoh. Apakah nurani mereka membenarkan perbuatan itu. Apakah mereka akan tersenyum ketika anak kandung mereka melakukan hubungan sejenis...?. Sekali lagi tanyakan kepada nurani mereka... Inilah yang yang disebut dengan aka budi, pembeda paling jelas manusia dengan hewan.

DI satu sisi kita bisa mengatakan bahwa inilah yang terlupakan bangsa ini, yakni membangun manusia dengan nurani. Sehingga kontroversi yang tidak perlu menjadi "semak" dan "menyampah" dalam kehidupan kita saat ini bisa dikurangi . Tapi di sisi lain kita juga bisa melihat indikasi, bahwa semua ghazul fikri ini pasti ada latar belakangnya dan ada tujuanya. Inilah yang kita perlu waspadai, walaupun tidak harus sampai mencurigai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun