Mohon tunggu...
yulia adiningsih
yulia adiningsih Mohon Tunggu... -

Penikmat sibuk santai.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

[Resensi Buku] Kehidupan adalah Candu

19 Februari 2017   18:14 Diperbarui: 4 Juni 2017   12:54 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://shuttermike.com/

Agama adalah candu, begitu kata Karl Marx. Namun, bagi si Aku dalam Novel "Mati, Bertahun yang Lalu" karya Soe Tjen Marcing, kehindupanlah yang merupakan candu. Tidak ada yang lebih adiktif daripada kehidupan dan mencoba hidup. Manusia makan agar tetap hidup, manusia sakit akan berobat agar tetap hidup, manusia berdoa kepada Yang Mahatinggi untuk dipanjangkan umurnya karena manusia sudah kecanduan akan hidup.

Soe Tjen adalah seorang akademisi dan komponis serta pendiri Lembaga Bhinneka dan Yayasan Bhinneka Nusantara. Sebuah lembaga yang mempromosikan keanekaragaman tradisi, budaya, agama dan hak asasi manusia di Indonesia (pluralisme). Gaya penulisan Soe Tjen dalam novel ini tidak jauh beda dengan tulisan-tulisannya yang telah ia tulis di websitenya.

Novel ini berlatar belakang tahun 1998, yaitu pada saat runtuhnya rezim orde baru dan digantikan oleh reformasi. Di mana manusia-manusia keturunan Tiongkok menjadi sasaran utama pada kerusuhan ’98. Soe Tjen rupanya tak lupa menyelipkan isu pluralsime pada Mati, bertahun yang lalu dengan menyangkut-pautkan suku, adat, ras, agama dan golongan dengan memanfaatkan setting waktu dalam novel ini.

Ada dua kata kunci yang pasti disebut-sebut dalam setiap bab dalam novel ini, yaitu 'mati' dan 'hidup'. Secara harfiah, mati mempunyai makna tidak bernyawa, sedangkan hidup mempunyai makna yang sebaliknya. Secara harfiah, nyawa adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat (non-fisik) tapi dijadikan acuan untuk apakah sesorang dikatakan sudah mati atau hidup. Dalam novel ini, Soe Tjen mencoba menggambarkan manusia yang mati seperti apa.

Pemaknaan hidup selalu terhenti pada anggapan terhadap sesuatu mempunyai nyawa. Si Aku dalam novel "Mati, Bertahun yang Lalu" adalah satu tokoh yang digambarkan Soe Tjen telah mati meskipun bernyawa. Aku sudah mati bertahun-tahun yang lalu. Namun tak seorang pun telah menguburku, karena mereka belum tahu (hlm. 1). Kalimat ini tertulis penulis diawal buku ini untuk membuka sebuah cerita. Tapi, kalimat ini akan dijumpai pembaca di bab-bab berikutnya, bahkan dalam satu bab yang sama, seakan-akan penulis ingin memberitahu kepada pembaca bahwa Si Aku telah mati, benar-benar mati.

Cerita Aku dapat memengaruhi orang untuk berpikir bahwa ia juga telah mati. Menurut Aku, kehidupanlah yang telah membuat orang mati. Kehidupan menyajikan berbagai macam alasan seseorang untuk berusaha tetap hidup, maka manusia bergerak untuk satu tujuan yaitu tetap bisa hidup tanpa menyadari bahwa dirinya telah diperbudak oleh kehidupan. Eksistensi manusia dalam kehidupan telah dikubur oleh hidup itu sendiri.

Aku telah mati terkungkung oleh tuntutan-tuntutan diluar dirinya. Inilah yang mungkin dikatakan oleh Nietzsche. Roh yang seperti unta, maka roh merindukan roh itu sendiri. Manusia bergerak bukan karena ia menginginkannya namun karena mereka terpaksa melakukannya. Merasa hidup, namun belum tentu hidup. Merasa hanyalah merasa yang orang-orang bilang fana, khayalan, ilusi dan utopis, seperti tokoh-tokoh dalam cerita ini selain si Aku.

Cerita dalam novel ini banyak menyalahkan hidup dan hal-hal yang berada di luar diri manusia seperti pekerjaan, bahasa, perkawinan, adat dan sebagainya. Karena hal-hal tersebut dianggap membuat manusia kehilangan dirinya. Rupanya adat itu seperti bahasa. Ia diciptakan manusia dan kemudian ganti menciptakan mereka, sehingga akhirnya manusia harus menurut pada calo adat, ahli adat yang bisa menyuruh-nyuruh manusia (hlm. 40). Salah satu kutipan yang dirasakan oleh Aku dalam novel "Mati, Bertahun yang Lalu" terhadap respons bahwa manusia telah diperbudak oleh yang diciptakan oleh dirinya sendiri.

Judul Buku: Mati, bertahun yang lalu Penulis: Soe Tjen Marching Penerbit: Gramedia Tahun Terbit: Cetakan I, Oktober 2010 Tebal: 153 halaman ISBN 978-979-22-6345-9
Judul Buku: Mati, bertahun yang lalu Penulis: Soe Tjen Marching Penerbit: Gramedia Tahun Terbit: Cetakan I, Oktober 2010 Tebal: 153 halaman ISBN 978-979-22-6345-9
Dalam hal ini, rupanya alur cerita yang dibuat terlalu pesimis dan memisahkan antara aktor dan struktur. Ada anggapan bahwa struktur atau hal-hal di luar aktor terlalu mendominasi dan menihilkan eksistensi aktor itu sendiri. Penggambaran Aku oleh Soe Tjen terlalu berlebihan, meskipun pada kenyataan hal-hal yang di luar diri manusia banyak mendominasi manusia, contohnya seperti uang. Menurut Weber, manusia sudah menjadi objek dan digerakan oleh uang.

Namun, menjadi dilema jika dilihat dari perspektif lain, apakah manusia benar-benar satu-satunya objek? Jika mengacu pada kutipan di atas mengenai adat, di situ Aku mengakui bahwa adat diciptakan oleh manusia. Hal itu menunjukan bahwa sebenarnya peran manusia bukanlah menjadi objek melainkan juga subjek. Ada dualitas antara manusia dengan hal-hal di luar diri manusia.

Jadi, Apakah Manusia Sudah Mati?
Kekurangan dari novel ini adalah penulis terlalu berlebihan dalam memandang sesuatu, baik itu mengenai kehidupan maupun kematian (khususnya). Penulis cenderung memakai satu perspektif, yaitu dualisme antara aktor dan struktur dalam novel tersebut.

Meskipun begitu, novel ini layak dibaca bahkan di 2017 ini. Tahun di mana bertambahnya hal-hal di luar diri manusia mencoba menguasai manusia, atau mungkin sudah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun