Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Simbolisasi Tokoh, Mistifikasi atau Penguat Branding?

30 Oktober 2018   12:58 Diperbarui: 30 Oktober 2018   15:05 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Kompas/Istimewa

Sontak keluarga tokoh proklamator menolak identifikasi seorang politisi yang tengah berkontestasi di ajang pemilihan presiden kali ini, disebut sebagai representasi layaknya sosok sang tokoh tersebut. Tidak berhenti disitu, penolakan disertai umpatan keras. Jelang tahun politik, kita seolah hidup bergelimang umpatan dan makian.

Bagaimana memahamkan posisi sedemikian, benarkan bila tokoh publik tersebut adalah hak prerogatif privat alias milik keluarga? Mengapa para politisi tertarik melakukan personifikasi diri atas tokoh-tokoh kepahlawanan di masa lalu? Apakah strategi simbolik tersebut masih efektif?.

Kita tentu perlu urutkan satu persatu. Pertama-tama, berkaitan dengan kemarahan pewaris nama besar figur pahlawan nasional, tentu saja hal itu menjadi hak individual, untuk berekspresi atas apa yang dirasakan tidak selaras dengan sikap pribadi/ keluarga. Tetapi penghormatan atas nilai kehormatan sosok figur pahlawan, seharusnya mampu dijaga melalui tindakan terhormat. Kesantunan memang hilang hari-hari ini. Sekarang, seolah tidak ada ruang untuk berbeda pendapat.

Sekali Lagi, perlu dipahami bahwa tokoh publik tentu akan menjadi hak milik publik, meski tidak terlupakan marwah itu dari aliran pertalian darah milik keluarga yang bersifat privat. Biarkan publik yang memberikan penilaian terkait upaya asosiasi pada sang tokoh, agar bersifat objektif bukan sekedar tarikan kepentingan politik.

Pada posisi privat, upaya untuk dapat memberikan saran dan menyampaikan pendapat terkait filosofi tokoh dan figur ketokohan adalah kebaikan, dan tentu lebih substantif, dibandingkan melampiaskan emosi.

Tetapi kita perlu memberikan ruang pengertian yang luas, karena tunas-tunas muda berani bersuara, meski cara dan polanya harus dikoreksi, mungkin juga zaman telah berubah, dan umpatan serta makian itu adalah bentuk duplikasi atas contoh yang tidak terlalu baik dalam dunia perpolitikan kita saat ini. Semangat sumpah pemuda yang baru saja dilewati, tidak hidup dalam ruang hampa yang penuh makian, melainkan membawa sebongkah formula kebangsaan.

Tetapi baiklah kita cukupkan sampai disitu, jika demikian kita akan melanjutkan pembahasan terkait asosiasi dan identifikasi personal atas sosok seorang tokoh.

Mitos dan Demistifikasi

Lantas mengapa para politisi kerap membangun dirinya dalam asosiasi simbol figur-figur kepahlawanan? Tentu harapan yang dibangun dengan upaya mengidentikan diri pada seorang tokoh besar, akan menambah pesona figur, memberikan dampak popularitas, terlebih bila sang tokoh yang hendak direplikasi memiliki basis pengagum yang signifikan.

Pada aktivitas politik, kita seringkali melihat bagaimana simbol personal ketokohan dibawa-bawa, serta menjadi sebentuk upaya guna membangkitkan memori ketokohan, menguatkan pesan dari gagasan pemikiran ataupun jasa dari sang tokoh tersebut.

Perlu kajian mendalam dampaknya atas tingkat keterpilihan, karena diasumsikan ada peralihan pengetahuan kognitif dari sekedar mengagumi hingga menjadikan tokoh tersebut sebagai idola, bisa jadi meningkat ke level fanatisme tokoh lalu berubah sebagai kultus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun