Pekan ini dalam dunia bisnis ditandai dengan kabar pailitnya perusahaan jamu Nyonya Meneer. Situasi pelik dihadapi perusahaan yang ikonik dengan simbol si Nyonya Meneer yang berdiri sejak 1919 itu.
Kisah kebangkrutan tentu saja menyisakan pilu, terutama bagi banyak perusahaan yang memiliki latar belakang sejarah bisnis yang panjang.
Alih-alih mengkonversi kemampuan bertahan dalam durasi nan panjang tersebut, akhirnya arena kompetisi bisnis dengan telak menjatuhkan sang Nyonya yang sudah tidak sanggup lagi berdiri.
Evaluasi bisnis jamu yang menjadi area kelolaan Nyonya Meneer sesungguhnya memiliki potensi kapitalisasi pasar yang baik dan bahkan besar, setidaknya diestimasi dapat mencapai 20 triliun.
Kita tentu tidak mendapatkan uraian menyeluruh tentang muara kegagalan bayar pada para kreditur Nyonya Meneer yang kemudian menalaknya, namun beberapa hal masih dapat diperoleh dari studi kasus sang Nyonya.
Era Dinamis Dunia Bisnis
Analisa bisnis dari perusahaan Nyonya Meneer tentu berpusat pada pola dan model bisnis yang digelutinya. Sepanjang sejarahnya, perusahaan ini pernah menjadi role model bisnis yang inovatif, termasuk beroleh sertifikat manajemen internasional yang membuat produk ini bisa menembus pasar internasional.
Dengan list produk yang merentang kedalam ratusan merek dan varian produk, serta tekonsentrasi 80% bagi kebutuhan wanita maka Nyonya Meneer tentu menjadi pelaku dalam proposi besar didunia industri jamu yang mayoritas masih berkategori usaha kecil rumahan.
Bahkan Charles Saerang sang CEO pun tidak kalah terkenalnya dari brand jamu tersebut, mantan ketua GP Jamu dan peraih gelar doktoral ilmu manajemen ini tentu fasih merumuskan bisnis turun temurun tersebut.
Lalu dimana letak persoalannya? Mari kita formulasikan bentuk dari puzzle bisnis Nyonya Meneer.
Pertama: bisnis keluarga, tentu tidak ada yang salah dalam format bisnis tersebut. Pada banyak kasus bisnis keluarga justru berkembang karena support semua pihak dalam keluarga sebagai bentuk rasa memiliki dan keinginan untuk memajukan.