Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif berpendapat bahwa apa yang dikatakan Ahok bukan penistaan agama. Begitu kesimpulan yang saya tangkap ketika beliau mengomentari pernyataan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016 beberapa waktu lalu.
Tapi, bagi saya itu pendapat pribadi, tidak bisa dijadikan rujukan. Apalagi, sambil mengatakan dengan nada pedas “Hanya otak sakit sajalah yang berkesimpulan demikian.” Artinya, menuduh Majelis Ulama Indonesia (MUI) keliru dalam berfatwa. Dalam hal ini, saya, mohon maaf, tentu saja lebih setuju dan percaya dengan fatwa yang sudah dipikirkan dengan matang oleh ulama dari beragam ormas seperti NU-Muhammadiyah dll di MUI tersebut. Bukan sekadar pendapat pribadi yang sangat mungkin syarat kepentingan dan nir argumen.
Pasca tampilnya di acara ILC TV One, begitu juga dengan kolomnya “Ahok Tidak Menghina Al-Quran” pro kontra terhadap sosok dan pemikiran Buya Syafii mengemuka. Tokoh-tokoh liberal dan juga beberapa aktivis Islam anggota PDIP serta pendukung Ahok ramai-ramai memuji pemikirannya yang dinilai menentang arus. Begitu juga, beberapa aktivis Maarif Institute bercerita tentang bagaimana kesederhanaan Buya seperti misalnya rela berdesakan naik mobil Xenia setelah tampil di acara TV itu. Sambil menyindir AA Gym yang pulang dengan mobil mewah Alphard.
Dalam soal kesederhanaan, saya tentu sangat setuju dengan pendapat para aktivis Maarif Institute yang bersaksi demikian. Tokoh muslim, cendekiawan muslim, memang sudah semestinya hidup sederhana. Tak bermewah-mewahan. Saya juga salut dengan Buya yang dari kesaksian beberapa orang, tak mau tasnya dibawakan misalnya oleh orang yang mengundangnya berbicara dalam sebuah seminar. Dalam konteks kesederhanaan ini, jujur saya katakan ini sebuah keteladanan yang perlu diapresiasi.
Tapi, dalam soal pemikiran, lagi-lagi saya berbeda pendapat. Kenapa? Sebab soal penistaan agama ini bukan murni soal urusan agama semata. Tapi, tetap saja ada kepentingan politik yang menyertainya. Itu sebabnya, kenapa para pendukung Ahok begitu merayakan pendapat Buya Syafii ini. Tentu saja, tanpa harus merasa perlu misalnya mengapresiasi pemikiran dan karya-karyanya, buku-buku yang pernah ditulis cendekiawan muslim ini sebelumnya.
Belum lagi, sebagai pribadi, Buya juga tidak berdiri sendiri, mewakili dirinya sendiri. Sejarah mencatat, Buya pernah menjadi penasihat Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), sayap Islam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) begitu juga Buya terdaftar sebagai salah satu tokoh pendiri ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Jadi, dalam kasus ini, ketika beberapa orang mengatakan bahwa pendapat Buya murni dari hati nurani dan akal sehat sepertinya perlu dibaca ulang. Bagi saya lagi-lagi berseberangan. Kedekatan secara politik dengan ormas dan partai politik tertentu, secara psikologi saya kira turut memengaruhi arah pemikiran dan pendapat seseorang.
Apa lagi, kekurang jujuran Buya yang pernah mengatakan tidak kenal dengan Ahok. Sayangnya, sebuah foto beredar membalik semua itu. Buya dan Ahok sedang asyik menikmati makan bareng. Secara semiotis, kita bisa mengerti kenapa Buya berpendapat demikian. Bagi orang awam, makan bersama barangkali lumrah adanya.
Tapi bagi politisi, tokoh ternama apalagi pejabat publik, sudah lumrah bahwa makan bersama kerap dijadikan arena lobi-lobi politik dan kepentingan. Sebuah foto memang multi tafsir. Menjadi hak publik untuk bebas menafsirkannya. Terakhir, perbedaan pendapat diantara umat dan tokoh Islam semestinya menjadi rahmat dan memperkaya khazanah pemikiran, bukan justru menjadi alasan untuk saling caci, hantam dan serang. Tapi bagi saya, dalam soal penistaan agama ini, kapasitas MUI lebih memadahi untuk dijadikan rujukan, bukan pendapat pribadi yang sangat berpotensi syarat kepentingan. Demikian.
*Yons Achmad. Pemerhati dunia Islam.