Mohon tunggu...
Yons Achmad
Yons Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat Komunikasi

Yons Achmad.Kolumnis dan Pengamat komunikasi. CEO Brandstory.id (PT Brandstory Progres Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Syafii Maarif Bukan Rujukan

13 November 2016   19:48 Diperbarui: 14 November 2016   00:46 2657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif berpendapat bahwa apa yang dikatakan Ahok bukan penistaan agama.  Begitu kesimpulan yang saya tangkap ketika beliau mengomentari pernyataan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016  beberapa waktu lalu.

Tapi, bagi saya itu pendapat pribadi, tidak bisa dijadikan rujukan. Apalagi, sambil mengatakan dengan nada pedas “Hanya otak sakit sajalah yang berkesimpulan demikian.” Artinya, menuduh Majelis Ulama Indonesia (MUI) keliru dalam berfatwa. Dalam hal ini, saya, mohon maaf,  tentu saja lebih setuju  dan percaya dengan fatwa yang sudah dipikirkan dengan matang oleh ulama dari beragam ormas seperti NU-Muhammadiyah dll  di MUI tersebut. Bukan sekadar pendapat pribadi yang sangat mungkin syarat kepentingan dan nir argumen.

Pasca tampilnya di acara ILC TV One, begitu juga dengan kolomnya “Ahok Tidak Menghina Al-Quran” pro kontra terhadap sosok dan pemikiran Buya Syafii mengemuka. Tokoh-tokoh liberal dan juga beberapa aktivis Islam  anggota PDIP serta pendukung Ahok ramai-ramai memuji pemikirannya yang dinilai menentang arus. Begitu juga, beberapa aktivis Maarif Institute bercerita tentang bagaimana kesederhanaan Buya  seperti misalnya rela berdesakan naik mobil Xenia  setelah tampil di acara TV itu. Sambil menyindir AA Gym yang pulang dengan mobil mewah Alphard.

Dalam soal kesederhanaan, saya tentu sangat setuju dengan pendapat  para aktivis Maarif Institute yang bersaksi demikian. Tokoh muslim, cendekiawan muslim, memang sudah semestinya hidup sederhana. Tak bermewah-mewahan. Saya juga salut dengan Buya yang dari kesaksian beberapa orang, tak mau tasnya dibawakan misalnya oleh orang yang mengundangnya berbicara dalam sebuah seminar. Dalam konteks kesederhanaan ini, jujur saya katakan ini sebuah keteladanan yang perlu diapresiasi.

Tapi, dalam soal pemikiran, lagi-lagi saya berbeda pendapat. Kenapa? Sebab soal penistaan agama ini bukan murni soal urusan agama semata. Tapi, tetap saja ada kepentingan politik yang menyertainya. Itu sebabnya, kenapa para pendukung Ahok begitu merayakan pendapat Buya Syafii ini. Tentu saja, tanpa harus  merasa perlu misalnya mengapresiasi pemikiran dan karya-karyanya, buku-buku yang pernah ditulis cendekiawan muslim ini sebelumnya.

Belum lagi, sebagai pribadi, Buya juga tidak berdiri sendiri, mewakili dirinya sendiri.  Sejarah mencatat,  Buya pernah  menjadi penasihat Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), sayap Islam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) begitu juga Buya  terdaftar sebagai salah satu tokoh pendiri ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Jadi, dalam kasus  ini,  ketika beberapa orang  mengatakan bahwa pendapat Buya murni dari hati nurani dan akal sehat sepertinya perlu dibaca ulang. Bagi saya lagi-lagi berseberangan. Kedekatan secara politik dengan ormas dan partai politik tertentu, secara psikologi saya kira turut memengaruhi arah pemikiran dan pendapat seseorang.

Apa lagi, kekurang jujuran Buya yang pernah  mengatakan tidak kenal dengan Ahok. Sayangnya, sebuah foto  beredar membalik semua itu. Buya dan Ahok sedang asyik menikmati makan bareng. Secara semiotis, kita bisa mengerti kenapa Buya berpendapat demikian.  Bagi orang awam, makan bersama barangkali lumrah adanya.

Tapi bagi politisi, tokoh ternama apalagi  pejabat publik,  sudah lumrah bahwa makan bersama kerap dijadikan arena lobi-lobi politik dan kepentingan. Sebuah foto memang multi tafsir. Menjadi hak publik untuk bebas menafsirkannya. Terakhir, perbedaan pendapat diantara umat dan tokoh Islam semestinya menjadi rahmat dan memperkaya khazanah pemikiran, bukan justru menjadi alasan untuk saling caci, hantam dan serang.  Tapi bagi saya, dalam soal penistaan agama ini, kapasitas MUI lebih  memadahi untuk dijadikan rujukan, bukan pendapat pribadi yang sangat berpotensi syarat kepentingan. Demikian.

*Yons Achmad. Pemerhati dunia Islam. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun