Indonesia tengah mengalami kekeringan parah sejak tiga bulan lalu. Produksi bahan pangan seperti padi dan jagung akhirnya menurun. Namun, alih-alih menanggulangi dampak kekeringan, Kementan justru menggencarkan ekspor beras.
Memang yang diekspor adalah beras khusus dan premium. Namun bisa saja masyarakat salah kaprah, lantas mengira ekspor dilakukan lantaran produksi melimpah. Apalagi kita jarang menemukan berita soal upaya Kementan mengatasi paceklik. Kementan seolah menampilkan hasil kerja yang baik-baik saja, sedang kegagalannya sendiri tak diakuinya.
Beras terbagi dalam beberapa jenis, yang sering kita konsumsi sehari-hari termasuk kategori beras medium dan kini rata-rata harganya mencapai Rp11.650/kg. Jauh melampaui harga eceran tertinggi.
Sedangkan beras yang diekspor Kementan adalah jenis khusus dan premium, yang produksinya terbatas dan dikhususkan untuk industri makanan atau diet khusus, misalnya beras organik dan beras ketan hitam.
Jenis beras yang diekspor Kementan kemarin adalah beras Adan Krayan dari Kalimantan Utara, beras Raja Uncul dari Kalimantan Barat dan beras Siam Unus Mutiara dari Kalimantan Selatan.
Konsumsi dalam negeri terhadap beras kategori premium memang sedikit. Jadi jangan heran apabila Kementan mengekspor beras tersebut ke negeri tetangga yang peminatnya lebih banyak.
Tapi persoalannya, buat apa Kementan begitu menonjolkan ekspor di tengah kekeringan yang menyebabkan sawah-sawah petani kita gagal panen? Apakah untuk menutupi produksi beras medium yang menurun? Apakah supaya masyarakat mengira pasokan beras di pasar aman-aman saja hingga akhir tahun?
Ingat, berhasil ekspor bukan berarti produksi tengah melimpah. Masyarakat harus bisa membedakan jenis beras yang diproduksi di Indonesia, agar tak salah kaprah.
Akan lebih baik jika Kementan melaporkan ke publik langkah-langkah apa saja yang telah ditempuh untuk mereduksi dampak kekeringan. Bukan malah menggiring pemahaman masyarakat dengan menggembar-gemborkan ekspor beras jenis khusus dan premium.