Selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, warga dapat sering melihat wajah para pemimpin dan pejabat daerah lain di Jakarta. Sosok-sosok yang sepenuhnya asing bagi warga Jakarta bahkan tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan kehidupan mereka, tiba-tiba hadir dalam setiap kampanye Ahok-Djarot. Mereka, yang merupakan kader PDI-P, turut menggruduk Jakarta hanya untuk mengkampanyekan Ahok-Djarot.
Kehadiran para pejabat kader PDI-P dari berbagai daerah sebenarnya pemandangan aneh. Pasalnya, mereka sebenarnya tidak memiliki kaitan dan kepentingan apa pun di Jakarta, selain hanya untuk mentaati perintah partai. Kehadiran para pejabat daerah kader PDI-P tersebut memang hasil dari perintah DPP PDI-P supaya semua kadernya di daerah, terutama para gubernur, bupati/walikota, dan ketua/anggota fraksi di DPRD untuk turut menggruduk Jakarta memenangkan pasangan calon yang diusung PDI-P.
Meski Ahok-Djarot dan para pendukungnya memperhalus istilah kedatangan para pejabat daerah tersebut dengan sebutan “gotong-royong”, tidak perlu naif untuk mengatakan bahwa langkah tersebut adalah upaya maksimalisasi kekuatan untuk memenangkan PIlkada DKI Jakarta. Langkah PDI-P yang memerintahkan para pejabat daerah ke Jakarta pada dasarnya mensabotase pelayanan publik di daerah-daerah. Sebab, para gubernur, bupati/walikota, dan anggota DPRD dipaksa ke Jakarta hanya untuk mengkampanyekan Ahok-Djarot, sementara urusan mereka di daerah masing-masing ditinggalkan.
Karena itu, sejak awal saya sangat tidak setuju dengan cara semacam ini karena para pejabat daerah memiliki tugas konstitusional yang bersifat kewajiban jabatan di daerah masing-masing. Apakah tugas mereka untuk mengkampanyekan Ahok-Djarot? Tentu jawabannya “tidak”. Tapi apakah tugas mereka untuk melayani masyarakat dan konstituen mereka di daerah-daerah, tentu jawabannya “wajib.
Kita hanya bisa memahami langkah para pendukung dan pengusung Ahok-Djarot ini melalui sudut pandang politik. Yakni, mereka sudah mulai ketar-ketir dengan kemungkinan pasangan calon yang diusungnya akan terhempas dari kontestasi Pilkada. Karena DKI Jakarta adalah sumber segala hal bagi kekuatan partai-partai politik, maka mereka kemudian menjadi kalap, dan karena itu mengerahkan semua kekuatan untuk menggruduk Jakarta.