Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Ke-6

22 Juli 2017   06:37 Diperbarui: 22 Juli 2017   06:46 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari hadir dengan atribut harinya sendiri. Kabupaten Cianjur dengan program pemerintah bertajuk "Gerbah Marhamah" atau gerakan masyarakat berakhlakul karimah ditandai dengan berkumandangnya alunan-alunan ayat-ayat Al-Quran yang dari mesjid-mesjid kecil yang ada di RT-RT. Suaranya saling bersahutan seolah saling menyapa dalam bahasa ilahiyah. Saya mendengar keindahan naik turunnya suara dan bergantinya jenis suara dari setiap mesjid. Gerbang marhamah terasa kental di mesjid-mesjid dengan berlomba-lombanya anggota DKM menyetel rekaman pembacaan ayat-ayat Al-Quran.

Pagi beranjak sesuai fitrahnya. Setiap detik berlalu. Saya segera meninggalkan rumah untuk kembali memulai memenuhi tanggung jawab sebgai seorang guru.  Jalanan pada pukul 6.15 sama sesaknya dengan hari-hari sebelumnya. Sambil menikmati perjalanan, saya bersiap menempatkan diri jadi wali kelas. Menjadi orang tua kedua, begitu kata orang.

Ketika saya masuk ruang guru, terdengar para guru saling mengingatkan agar para wali kelas memasuki ruang kelas yang diwalikelasinya untuk memberikan pembinaan wali kelas. Mereka saling baku-tanya harus memberikan apa. Saya tidak berkata apa-apa, langsung mengambil absen dan menuju kelas 12 MIPA 6.  Telah jelas apa yang akan saya lakukan hari ini untuk kelas 12 MIPA 6, melanjutkan membaca Pembawa Mayat dan membuat struktur organigram Kelas.

Para siswa telah menunggu, pada pertemuan ke-2 mereka hadir tepat waktu. Bagi saya, itu suatu perubahan yang drastis. Pada hari ke-1, hampir satu pertiga datang terlambat. Hari ini, mereka berusaha hadir tepat waktu. Bagi saya, seorang wali kelas, kehadiran mereka yang tepat waktu adalah sebuah kebahagiaan besar.

Saya melanjutkan paragraf ke-3 dari cerita pendek  Pembawa Mayat. Pada teksnya disebutkan bahwa si tokoh utama memandang do'a sama gaibnya dengan kematian. Dia memandang bahwa setelah kematian, ada kehidupan yang sama seperti yang sekarang sedang ia jalani. Dia sangat takut, di kehidupan nanti istrinya menikah dengan orang lain, dan barulah dia menangis.

Paragraf ini saya gunakan untuk menyadarkan para siswa terhadap pentingnya do'a. saya mulai dengan membeberkan kenapa do'a sama gaibnya dengan kematian. Do'a dan kematian keduanya tidak pernah dapat dijelaskan, misteri. Kematian, walaupun semua yang hidup mengalaminya namun tidak pernah ada kabar bagaimana mati itu menurut si pelaku.

Do'a, semua orang melakukannya, agama apapun. Namun, sekalipun semua memohonkannya, tidak pernah tahu, kapan do'a itu dikabulkan dan tidak pernah tahu bagaimana do'a itu tiba-tiba saja baru disadari bahwa telah terkabul.

Do'a dan kematian menjadi misteri besar bagi manusia, namun tidak bagi Tuhan. Seorang hamba misalnya berkata do'aku lama tak terkabul. Demikian juga kematian, ada seorang tua dan penyakitan berkata, aku menunggu kematian, lama sekali kutunggu, dia tak kunjung datang. Seorang lainnya berujar, kematian itu datang terlalu cepat, dia masih SMA, anak soleh, pintar, hanya anak satu-satunya, sayang dia meninggal.

Contoh tadi menyiratkan bahwa manusia membuat ukuran. Akibat dari pembuatan ukuran tadi  maka segala sesuatu menjadi berbeda. Padahal bagi Tuhan, tidaklah demikian. Saya uraikan begini. Manusia melihat segala sesuatu menjadi rumit karena ukuran yang dia buat sendiri. mari kita lihat diri kita. Kalau Donal Trump, Agnes Monica, kita, dan siapapun yang ada di muka bumi ini dilepaskan dagingnya. Maka kita akan sadar, bahwa kita sadar bahwa kita sama, hanya tulang belulang putih dan struktur yang sama. Yang membedakan kita kulit. Manusia kemudian membuat ukuran, si ini kulitnya berwarna ini, si itu berwarna itu, si fulan warnanya anu. Lahirlah perlakukan dan stereotip yang berbeda-beda karena ukuran warna kulit. Padahal Tuhan tidak membedakan manusia karena warna kulitnya, semuanya diterima sama, mereka semuanya khalifah di muka bumi.

Bagimana dengan do'a. bagi Tuhan, manusia semuanya sama. Pembedanya hanyalah keimanan. Do'a, saya tegaskan kepada para siswa yang semuanya diam, adalah pengakuan kita atas tidak berdaya tidak berkuasanya, dan bertapa kecilnya kita.  Boleh saja sesekali kamu bisa berkata, 'Kamu harus tahu, aku ini ...' Tapi sadarkah bahwa ke-aku-an yang sedang kamu katakan adalah perwakilan dari murkamu, egomu, dan sesungguhnya muncul dari ketidakberdayannmu. Marah, merujuk diri sebagai sentral (aku ini ...) menunjukkan bahwa kamu bukan siapa-siapa. Kamu melabeli diri kamu dengan 'aku ini' artinya kamu ingin diakui sebagai seseorang. Dengan kata lain bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, sehingga orang lain harus diberitahu kamu itu siapa, kamu tidak punya kuasa.

Kelas masih hening, saya lanjutkan. Ketidakberdayaan  menjadi fitrah kita. Membuat kita kuat adalah tugas kita, caranya, berdo'a. Do'a adalah penghambaan kita kepada Tuhan dengan cara yang elegan. Mengakui betapa kita tidak berdaya-upaya, namun memiliki banyak keinginan. Do'a juga merupakan cara kita berkomunikasi dengan Tuhan. Segala kesusahan, keperihan, kekecewaan, atau sebaliknya, segala suka, bahagia semuanya dikabarkan kepada Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun