Mohon tunggu...
Erri Subakti
Erri Subakti Mohon Tunggu... Penulis - Analis Sosial Budaya

Socio Culture Analyst

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Saya Kehabisan Kata-kata Menonton "Rectoverso"

18 Februari 2013   10:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:06 1380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Gambar : kapanlagi.com"][/caption] Saya kehabisan kata-kata, jangankan untuk memberikan kritik, untuk memuji pun saya merasa tak punya padanan kata yang tepat untuk sebuah karya film 'keroyokan' garapan anak-anak muda berbakat Indonesia ini. Saya merasa sangat beruntung mendapatkan undangan nonton bareng film Rectoverso yang diadakan oleh Usee TV pada awal Pebruari 2013 ini. Bukan apa-apa, film yang jalinan ceritanya berasal dari novel karya Dee (Dewi Lestari) ini, telah berhasil divisualisasikan dengan baik oleh 5 sutradarawati muda Indonesia. Yaitu Marcella Zalianty, Cathy Sharon, Happy Salma, Olga Lydia dan Rachel Maryam. Mereka memang sutradara-sutradara perempuan baru di Indonesia, tapi hasil garapannya betul-betul membuat mulut saya 'ternganga..' Pembuatan film ini secara sinematografi sebenarnya menggunakan teknik yang sederhana saja, namun berbagai detil yang ditampilkan betul-betul sangat natural. Hanya 15 hari proses pengambilan gambarnya. Dan yang paling lama justru pada editingnya yang memakan waktu hingga 3 bulan. Hal ini karena mereka harus mengatur 'emosi' agar jalinan kisah-kisah yang ditampilkan bergelombang. Tidak senduuuu..melulu... atau tidak ketawa-tawa terus. Menonton film ini berasa diri kita 'dikupas habis' sisi-sisi adegan yang sebenar-benarnya dalam kehidupan nyata. Tidak ada yang dibuat-buat hanya untuk kemasan film. Visualisasi Rectoverso benar-benar menampilkan sisi "depan dan belakang", sebagaimana makna Rectoverso itu sendiri... (front & back). Jika dalam istilah sosiologi, Erving Goffman pernah menyebutkan tentang wilayah panggung depan dan panggung belakang (front region & back region). Yaitu di mana kita sehari-hari di depan publik, di muka umum menampilkan sikap dan tindakan apa yang diharapkan orang lain terhadap diri kita. Itulah wilayah panggung depan. Sementara wilayah panggung belakang adalah wilayah di mana kita menampilkan diri kita sebenar-benarnya keadaan sesungguhnya. Kita menangis dalam panggung belakang, kita tersenyum di wilayah panggung depan.. kira-kira seperti itu. Ada tampilan-tampilan manusia dalam kehidupan sehari-hari yang sesungguhnya tidak tampil saat kita ada di panggung depan. Rectoverso betul-betul menjadi cerminan banyak pribadi yang sesungguhnya di film itu dengan problema riilnya yang tidak dikemas sekedar untuk 'enak ditonton' atau sekedar "menjual kesedihan atau tangisan". Seperti layaknya sinetron-sinetron Indonesia. Saya yakin banyak yang bisa berkaca dari film tersebut. Seperti Aulia Gurdi yang seperti melihat refleksi dirinya sendiri di masa depan dalam cerita "Malaikat Juga Tahu". Di mana ia memiliki pergulatannya sendiri di panggung belakang yang kita tak pernah tahu jika bertemu dengan Aulia Gurdi di wilayah panggung depan. Atau saya seperti melihat refleksi diri saya sendiri ketika melihat Fauzi Baadila.. eh, maksudnya menampilkan anak-anak muda nongkrong.. namun mereka tak sekedar nongkrong tertawa-tawa... mereka juga membahas banyak hal positif bahkan sampai menyinggung Butterfly Effect-nya Edward Lorenz dala teori Chaos. Dan yang paling penting adalah dalam tongkrongan itu mereka menggali kedirian mereka masing-masing. Film ini secara ciamik membungkus tonngkrongan dengan bumbu cinta yang aaahh... cinta yang tak bisa bersatu... dengan balutan kalimat-kalimat bersifat filsafat.. 'whew'... you're rock guys..! Di lain kisah, ada sosok-sosok seperti Saras yang diperankan Sohia Latjuba sebagai sosialita yang "hypersex".. hey it happened in real life.. Saya bukannya membenarkan atau menyalahkan hal tersebut. Tapi dalam film ini hal itu ditampilkan bukan dengan bungkus seperti film-film panas era '80-90-an. Mereka mampu menampilkan visualisasi yang riil. Yeah... mereka yang ada dalam dunia tersebut saya yakin akan seperti melihat refleksi dirinya sendiri. Saya yakin ini bukan sekedar kepiawaian para sutradara-sutradara muda itu saja. Tapi mereka juga berhasil membangun atmosfer kerja yang baik di antara para kru-kru film dan aktor/aktris yang tampil dalam film tersebut. Ini yang mempengaruhi apiknya akting para pemainnya. Meski memang aktor-aktris yang sebagai cast-nya adalah mereka yang handal dalam bidangnya. Seperti Lukman Sardi, Indra Birowo, Prisia Nasution, dan banyak lagi yang memang bermain dengan 'pas'... tidak kurang.. tidak lebih... Saya yang tak pernah menyukai akting dari Acha Septriasa dari film-film terdahulunya, kali ini terpukau dengan penampilannya yang betul-betul natural.. tanpa dibuat-buat.. tertawa ya tertawa.. menangis ya menangis, sakit ya sakit... tanpa kemasan 'sinetron..' Saya pikir ini pasti tak terlepas dari faktor sutradara, atmosfer kerja dan chemistry yang dibangun oleh pasangan mainnya. “This movie is so profound. I’m so overwhelmed by this movie that I’m speechless and in awe. But I need to say something to sound equally smart.” Karena saya sudah kehabisan kata-kata untuk memuji film Rectoverso ini, saya hanya punya kata makian... It's 'a got to see movie...' (ES) *Artikel terkait: Film Rectoverso, Rangkaian Sketsa Kisah Cinta Tak Terucap *Thanks untuk Karel Anderson atas undangan nonton barengnya. Salut untuk seluruh kru film dan para pemainnya:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun