Mohon tunggu...
Dini Wikartaatmadja
Dini Wikartaatmadja Mohon Tunggu... profesional -

Pustakawan, Penulis, Violist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bibliotheraphy for Refugees

13 Februari 2017   11:00 Diperbarui: 13 Februari 2017   11:05 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang anak menceritakan kisahnya di negara asalnya dengan penuh emosional. “Dulu waktu aku sekolah, semua guru selalu memukul aku juga teman-teman. Dipukul pakai rotan, ditampar kadang ditendang. Pernah suatu kali aku masuk kelas mengaji tiba-tiba disuruh berdiri dan dipukul. Ketika ditanya kenapa aku dipukul katanya karena aku pergi ke kolam renang,” ceritanya dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Pengalaman pahit juga dirasakan oleh anak lainnya yang dia ceritakan melalui sebuah tulisan. Begini bunyi tulisannya, “ Sewaktu Ramadan di negara saya, terjadi perang. Banyak bom. Sewaktu keluar rumah saya melihat mayat dan darah di mana-mana,” tulisnya.

Luka emosional ini ternyata tidak saja mereka alami ketika masih di negara asalnya, melainkan juga saat berada di Indonesia. Hidup berbeda dengan orang-orang di sekitar adalah hal yang menantang dan berat apalagi dalam proses adaptasi tersebut menerima kekerasan verbal. Anak-anak yang berasal dari negara dengan kulit berwarna lebih gelap kerap kali menjadi ejekan dari warga lokal. Hal ini membuat mereka semakin tidak percaya diri dan tertutup. Belum lagi tekanan yang mereka dapatkan karena kondisi perekonomian yang tidak stabil. Benar-benar kompleks.

Ini adalah sedikit cerita dari anak-anak Refugee (pengungsi) yang kini sedang diberikan izin tinggal di Indonesia. Mereka datang dari negara Somalia, Libya, Yaman, Irak, Afganistan,Sudan dan Srilangka ke Indonesia untuk tinggal sementara sampai mendapatkan suaka dari negara ketiga yang menerima Refugeeseperti Australia dan Amerika Serikat.

Kehadiran mereka di Indonesia tentu membawa luka emosional dari negara asalnya. Sebab meninggalkan negara tempat kita dilahirkan dan dibesarkan adalah hal yang sulit. Apalagi jika kita keluar disebabkan peperangan atau kondisi nyawa terancam. Banyak dari Refugee yang juga datang tidak lengkap bersama keluarganya baik ayah, ibu maupun anak karena dikabarkan mereka hilang.

Yang mengkhawatirkan di sini adalah anak-anak dari Refugee ini yang di usia begitu muda (2-18 tahun) dan belum mampu mengelola emosi dengan baik tumbuh menjadi orang yang penuh dengan kekerasan dan tidak toleran. Hal ini sungguh mengerikan.

Oleh karena itu diharapkan setelah berkenalan dengan buku mereka mampu meminimalisasi bahkan menyembuhkan luka emosional yang dialami ketika berada di negara asalnya maupun saat di Indonesia. Menyembuhkan luka emosional dengan buku disebut dengan Biblioterapi.

Manfaat biblioterapi sebenarnya sudah termaktub dalam wahyu pertama Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, “IQRA”. Bacalah!

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia[KBBI] baca; membaca ialah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Selain itu, baca; membaca juga diartikan sebagai mengeja atau melafalkan apa yang tertulis,mengucapkan, meramalkan dan menduga. Dengan kata lain, kegiatan membaca terbukti bukan sebuah kegiatan pasif yang menangkap serangkaian huruf kata dan kalimat melainkan secara aktif memasukkan kata dan serangkaian kalimat tersebut ke dalam otak. Ada proses yang rumit ketika seseorang membaca. 

Setidak-tidaknya minimal ada tiga indera yang berperan dalam melakukan aktifitas ini, yakni mata untuk menangkap kata dan kalimat, mulut yang terkadang ikut melafalkan terutama saat menemukan kata yang sulit dipahami dan telinga ikut melakukan kerjanya, mendengarkan lalu tangan yang sibuk membalikkan ke halaman berikutnya.

Setelah semua indera itu selesai kemudian ada otak yang mengolah semua informasi yang masuk dengan kerja syaraf yang tentu saja begitu ajaib. Otak kemudian menghubung-hubungkan berbagai sensasi seperti kabel-kabel dan transistor menghubungkan aliran listrik. Karena itu tidak heran saat membaca buku yang sedih,sang pembaca pun bisa ikut menangis, atau saat menemukan bacaan yang lucu,sang pembaca pun bisa tertawa hingga terpingkal-pingkal. Dengan demikian, membaca juga tidak hanya sekedar aktivitas otak saja melainkan hati yang ikut tersambung di dalamnya. Karena itu, tidaklah heran, saat seseorang telah mengahabiskan satu bacaaan maka sang pembaca akan memperoleh “pencerahan” baik secara intelektualitas maupun mentalitas. Karena itu membaca adalah terapi penyembuhan yang murah dan mudah. Lalu apa itu sebenarnya Biblioterapi?

Biblioterapi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, tepatnya di atas gedung Perpustakaan Thebes terdapat patung yang melukiskan orang yang tengah bosan dan di bawahnya. Terdapat manuskrip yang berbunyi "the healing place of the soul" (tempat penyembuhan jiwa). Biblioterapi berasal dari kata "Biblion" dan "Therapeia". Biblion berarti buku atau bahan bacaan, sedangkan Therapeia artinya penyembuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun