Mohon tunggu...
Gilang Parahita
Gilang Parahita Mohon Tunggu... Dosen - Hai! Saya menulis di sini sebagai hobi. Cek karya-karya saya!

Feminis, romantis, humoris.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar dari Kasus Sodomi Anak di JIS

16 April 2014   19:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:36 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

SEKS-seks-seks. Jika kata "seks" disebut dan pikiran kita berasosiasi pada aktivitas hubungan seksual, hmmm. Kemungkinan anak kita menjadi korban pedofilia semakin besar.

Kita sering menyepelekan pendidikan seks untuk anak karena di Indonesia sepertinya kasus-kasus paedofilia dianggap tidak umum. Padahal, mungkin saja hal itu banyak terjadi tetapi tidak terungkap di media massa. Di negara-negara maju, bahkan mencium anak orang lain -misalnya saya cium balita teman saya bule di Australia- bisa dianggap sebagai pelecehan seksual.

S-E-K-S. Bacalah seks lengkap dengan "s'' di belakang. Ucapkan berulang-ulang. Jangan malu-malu. Biarkan asosiasi di kepala berkembang tidak hanya ke urusan kopulasi tetapi juga kesehatan, identitas dan harga diri seseorang.

Seks adalah gender. Pengetahuan dasar manusia tentang identitas dirinya yang didapat dari seks yang ia miliki. Seks itu ditandai dengan kepemilikan alat reproduksi yaitu penis atau vagina. Budayalah yang membuat alat-alat kelamin ini tabu untuk dibicarakan, tetapi obsesi padanya berkembang.

Obsesi pada alat kelamin pada satu sisi dan penabuannya pada sisi lain inilah yang mungkin menjelaskan mengapa banyak om-om suka menyewa pekerja seks komersial, suami beristrikan empat (alasan agama dipakai padahal istri baru lebih MUDA daripada istri sebelumnya), pergaulan seks bebas, termasuk sodomi terhadap anak-anak seperti di Jakarta  International School (harus jelas disebut nih).

Sikap orang dewasa yang ambigu terhadap seks itu yang membuat anak-anak tak belajar mengenai seks dengan benar.

Mungkin seks menjadi tabu dibicarakan karena orang-orang dewasa ingin menyembunyikan rahasia kenikmatan terbesar dan tergampang bagi manusia dan itu dirasa tidak pantas diketahui oleh anak-anak. Padahal, soal kenikmatan itu adalah hal yang paling sepele di antara hal-hal lain terkait dengan seks.

Sedari kecil, semenjak usia dua tahun, anak-anak bisa diajari menyebut alat kelaminnya dengan sebutan ilmiah: penis dan vagina. Bukan sebutan-sebutan metaforis lainnya yang menggelikan itu. Dengan begitu anak-anak tak merasa malu berbagi rasa penasaran terkait dengan perkembangan alat genitalnya.

Sedari dua tahun anak saya kuberitahu bahwa vaginanya dan anusnya adalah privasi. Yang boleh memegang adalah orangtua dan pengasuh atau anggota keluaga terdekat. Dengan pengertian itu, anak saya hanya mau diceboki oleh orangtua dan pengasuh.

Ketika anak usia empat tahun, anak bisa dilatih untuk melawan jika ada orang siapa pun itu -keluarga atau asing- yang ingin melihat atau menyentuh alat kelamin dan anus anak, atau ingin anak melihat atau menyentuh alat kelamin orang itu. Gigit tangan orang itu, tendang, dan berteriaklah.

Ketika anak sudah berusia jelang remaja, kita bisa beri pengertian bahwa alat kelamin adalah alat reproduksi. Anus adalah ujung dari rangkaian gastrointertestinal. Sebagai alat reproduksi, penis dan vagina saling membutuhkan. Sementara, anus merupakan organ dari sistem pencernaan. Dari situ kita bisa sedikit demi sedikit memasukkan nilai-nilai agama, kesusilaan, dan bahkan hukum ketika mereka bahkan belum beranjak remaja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun