UN (Ujian Nasional) merupakan tradisi rutin yang digelar setiap tahun oleh pemerintah Indonesia. UN sendiri memiliki tujuan untuk menentukan lulus tidaknya siswa dari sebuah lembaga pendidikan. Bagi para siswa, khususnya SMA/SMK sederajat , UN yang dilaksanakan selama 4 hari sepertinya merupakan perjuangan hidup mati mereka. Namun, fakta yang terjadi berbanding terbalik dengan rencana yang telah tersusun rapi.
Pelaksanaan UN tahun ini mengalami banyak masalah, diantaranya tertundanya jadwal pelaksanaan UN mengingat soal belum rampung, kekurangan soal serta berbagai persoalan lainnya. Dari sekian banyak permasalahan, keterlambatan pendistribusian naskah merupakan masalah besar yang menjadi sorotan publik. Pemerintah berdalih bahwa keterlambatan pendistribusian naskah UN bukan sepenuhnya kesalahan Kementrian Pendidikan Nasional, tetapi juga merupakan kesalahan percetakan yang bertugas mencetak naskah UN. Dari 6 percetakan pemenang tender, salah satu percetakan yaitu PT Ghalia Indonesia Printing tidak mampu menuntaskan tugasnya dalam mencetak naskah UN untuk 11 provinsi di Indonesia, sulitnya sistem UN tahun ini yang mana naskah UN harus dicetak sebanyak 20 paket soal, ditambah lagi dengan barcode berbeda pada setiap paketnya tampaknya membuat percetakan tersebut pusing tujuh keliling.
Salah satu provinsi yang terpaksa menunda pelaksanaan UN SMA/SMK sederajat adalah Provinsi Bali. Bali yang merupakan satu diantara sekian provinsi yang menjadi barometer pendidikan di Indonesia, kini justru harus menunda jadwal pelaksanaan UN akibat keterlambatan pendistribusian naskah UN. Naskah UN untuk provinsi Bali baru sampai sehari sebelum pelaksanaan UN berlangsung, atau 3 hari setelah jadwal normal UN SMA/SMK sederajat ditetapkan. Namun, sampainya naskah UN bukan berarti masalah selesai begitu saja. Banyak SMA di Bali yang terpaksa menggandakan naskah soal UN karena kekurangan naskah soal.
Kisruh percetakan naskah UN jelas sangat berpengaruh pada faktor psikologi siswa. Para siswa merasa ikut terbebani atas tertundanya pelaksanaan UN. Betapa tidak jadwal belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi UN di hari pertama menjadi sisa-sia karena tertundanya jadwal. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kesiapan mental para siswa. Belum lagi pada saat pelaksanaan UN, naskah UN kurang sehingga pihak pengawas satuan pendidikan harus memperbanyak soal dengan cara fotocopy. Kenyataan ini kembali menambah bebas siswa. Pasalnya jadwal UN yang sedianya dimulai pukul 08.00 wita harus tertunda hingga pukul 12.00 wita. Akibatnya, para siswa pun merasakan sesuatu yang mengganjal perut mereka. Biaya ekstra pun harus dikeluarkan demi kenyamanan para siswa dalam mengerjakan soal UN. Kondisi ini sekali lagi mermperngaruhi psikologi para siswa.
Hal ini sangat tidak sesuai dengan peraturan yang menyatakan bahwa naskah UN adalah dokumen negara dan tidak boleh digandakan oleh siapa pun juga. Sekolah yang terpaksa menggandakan naskah UN yaitu SMAN 4 Singaraja dan SMAN 1 Busungbiu serta sejumlah sekolah lainnya di Buleleng. Pada hari pertama dan kedua, siswa jurusan bahasa di SMAN 4 Singaraja mendapatkan naskah soal yang telah digandakan, diantaranya adalah naskah UN untuk mata pelajaran Sastra Indonesia, Matematika, dan Antropologi, sedangkan di sisi lain siswa jurusan IPA harus mengerjakan naskah UN Bahasa Indonesia yang juga telah digandakan. Kasus yang sama terjadi pula di SMAN 1 Busungbiu. Masalah ini tidak dapat diaanggap enteng, pasalnya lembar jawaban telah menjadi satu dengan naskah UN, apalagi lembar jawaban merupakan lembar jawaban komputer yang memiliki bahan khusus, jika digandakan maka bahannya sudah barang tentu berubah. Selain itu dengan digandakannya naskah UN, hal ini tentu saja telah melenceng jauh dari sistem UN yang dilaksanakan dengan 20 paket soal karena naskah soal yang digandakan memiliki butir-butir soal yang sama alias satu paket. Kenyataan ini menimbulkan kecemburuan dari siswa lainnya yang mendapat 20 paket soal. Dugaan kebocoran soal pun tidak dapat dipungkiri lagi, walaupun tempat penggandaan naskah soal UN telah dijaga aparat kepolisian dan panitia pelaksanaan UN, banyak kemungkinan bisa terjadi berkaitan dengan dugaan kebocoran naskah UN.
Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional seharusnya mampu bersikap tegas dalam menyikapi hal penting seperti ini. Pada kenyataannya, pemerintah masih saja bersikap lempar batu sembunyi tangan ketimbang berusaha mengatasi permasalahan yang melilit di depan mata. Pemerintah cenderung lebih menyalahkan percetakan yang diaanggap lamban dalam menuntaskan tugasnya, padahal hal ini tidak akan terjadi jika ada sinergitas yang baik antara kedua belah pihak. Bahkan sudah semestinya pihak-pihak terkait seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu turun langsung guna menyelidiki persoalan yang sesungguhnya terjadi antara percetakan yang bersangkutan dengan Kementrian Pendidikan Nasional. Berbagai permasalahan yang menyangkut pelaksanaan UN 2013 menjadi PR baru bagi pemerintah, hal ini dikhawatirkan berimbas pada tingkat pendidikan di Indonesia dan pelaksanaan UN pada masa mendatang.
Jika pemerintah bersikap tegas terhadap pelanggaran yang terjadi atas perjanjian kontrak pencetakan naskah UN maka diyakini para siswa tidak akan menjadi korban ketidakbecusan pihak lain dalam mengelola pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia.