Mohon tunggu...
Viddy Daery
Viddy Daery Mohon Tunggu... -

Aku adalah Aku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lee Kuan Yew, Singapura, Rasialisme dan Novel Nurinwa Hendrowinoto

29 April 2015   16:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:33 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

oleh : Viddy Ad Daery *) budayawan pengembara dan pembaca kehidupan

Hari-hari ini dunia sedang ( masih ) merespon meninggalnya pemimpin Singapura ( modern ) yaitu Lee Kwan Yew yang kontroversial, ada yang memuji visi misi serta tangan besinya yang secara spartan mengarahkan Singapura untuk maju dari segi ekonomi dan pembangunan.

Namun di pihak lain, kritik ditujukan kepada “hasil” dari Singapura modern, yakni kesombongan dan kejahatan melindungi para bandit-koruptor, sering mengajak bertengkar tetangganya, terutama Malaysia dan Indonesia, serta masalah ketidakadilan rasialisme dan agama, karena Singapura yang notabene adalah sebuah negeri yang asalnya milik pribumi Melayu Islam, kini mereka dipinggirkan sampai batas marginal.

Kampung-kampung Melayu dihapus sampai 99 % , dan masjid hanya disisakan dua, yakni Masjid Negara dan Masjid warisan sejarah di Kampung Gelam….sedangkan kuil, kelenteng dan gereja berserakan di tiap sudut jalan.

Bertepatan dengan itu, terbit sebuah “Novel-Biografi” atau menurut penulisnya bergenre “biografi magis”, dengan judul “Pieta Senandung Indonesia Raya “ atau PSIR karya DR. Nurinwa Ki S Hendrowinoto , budayawan dan sastrawan yang memulai debutnya di Surabaya dan sempat mewarnai hiruk-pikuk dunia sastra Surabaya tahun 70-an sampai 80-an. Novel itu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta , 2015.

Saya ingin memperbandingkan dua hal itu, bukan karena “sempena” alias “dalam rangka”, namun karena permasalahan yang diusung dalam novel melodius sekaligus staccato tersebut adalah kritik masalah ketidak-adilan berbasiskan SARA.

Dan kalaupun di”sempena”kan juga tidak apa-apa, karena suhu SARA memang sedang meningkat, dimulai dari surat terbuka di mass media dari Jaya Suprana, budayawan keturunan yang mengkritik “gaya kurang ajar” Ahok, namun Ahok justru menghina Jaya Suprana sebagai warga keturunan asing yang bermindset warga kelas dua.

Artinya, Ahok mulai kini meminta, bahwa sebagai warga asing, tetap berhak “ithak-ithak” atau sombong dan merendahkan warga pribumi—jika memang ternyata orang pribumi itu moralnya kelas kambing.

Setelah geger perdebatan Ahok-Jaya Suprana itu, maka di sebuah restoran es krim Jakarta, diselenggarakan pertemuan warga keturunan Tionghoa dan warga pribumi, yang dari tema yang diusung, agaknya adalah keinginan untuk “islah” dan rekonsiliasi untuk mendukung keutuhan Negara Republik Indonesia.

SARA

Secara kebetulan, tema bahasan Buku PSIR karya Dr.Nurinwa dengan lincah bergerak membahas SARA itu, diantara laporan pandangan mata penulisnya ketika jalan-jalan ke “negeri kartupos” Eropa dengan memperbandingkannya dengan cara ber-retrospeksi melihat negeri sendiri yang tak kunjung maju dalam segala hal, meskipun sebagaimana kita ketahui, Eropa berhasil kaya justru dari merampok Negara-negara dunia ketiga….dan itu diakui oleh penulis PSIR ( Nurinwa ) ketika membahas kisah Cornelis de Houtman , pelayar Belanda awal yang membuka jalan penjajahan Belanda terhadap Indonesia dan beberapa negeri sekitarnya.

Nurinwa adalah keturunan campuran, ayahnya keturunan bangsawan Jawa tengah, dan ibunya keturunan Tionghoa yang juga sudah campuran.

Namun keberpihakannya memang lebih banyak ke “ras” dan “budaya” Ibundanya ( Mami atau Ibu yang Tionghoa ) sebab sejarah masa kecilnya mencatat kesetiaan dan perjuangan hidup Mami dalam menghidupi keluarga, ketika Sang Papi terkena struk –lumpuh sebelah--di usia relatif muda.

Nurinwa terkejut dan terpana, karena sahabat-sahabat Papi dari etnis Jawa yang pernah diajak hidup royal, sama sekali tak ada yang datang menjenguk, sedangkan teman-teman Tionghoa, malah banyak yang datang menjenguk.

Namun Nurinwa meskipun marah, namun tidak mengungkapkannya dengan bahasa yang garang. Bahkan dia hanya mencatat kejadian-kejadian nyata masa kecilnya yang sarkastis.

Dia mencatat pernah berdebat dengan Cak To, tukang soto madura langganannya di masa remaja, dimana tukang soto itu ngotot bahwa Apollo tidak mungkin sampai ke bulan.

“Bagaimana mungkin Apollo ke bulan Cak Sinyo ? Kan nanti Apollonya menembus blusss lalu keluar lagi….jadi cuma bisa nerobos….gak bisa mendarat di bulan….” Nurinwa sangat terenyuh melihat otak dan pikiran bangsanya yang sangat terbelakang.

“Lagipula, bulan itu dijaga oleh malaikat….masak orang Amerika itu bikinan Gusti Allah ? Kalau Belanda iya….” Nurinwa makin prihatin dengan otak bangsanya yang parah, karena keterbelakangan pendidikan ( PSIR halaman 25 ).

Nurinwa sangat gemas, melihat kenyataan bahwa kekayaan bangsa yang konon “terkaya nomor dua di dunia” ini , ternyata sekarang tinggal sekitar 40 % karena sudah dirampok selama ratusan tahun, sudah begitu para pemimpin Indonesia dengan santai malah membantu sang perampok, bukannya berpihak kepada rakyat.

Namun sayangnya, Nurinwa tidak melanjutkan kesimpulan, bahwa “perampok” itu, kebanyakan justru pengusaha-pengusaha taipan yang 99%nya adalah orang Tionghoa juga.

ISLAM

Nurinwa juga kecewa dengan Kyai-kyai dan para pemimpin Islam sebagai yang mayoritas , namun mereka tidak bertanggung-jawab mengentas kemiskinan bangsanya, bahkan cenderung menumpuk harta-kekayaan dengan memperalat kemiskinan ummat.

“Banyak orang miskin dan pengemis tiduran di emper masjid, dan khotbah-khotbah berisi ajakan berbuat baik dan bersedekah, namun anehnya tidak menganggap orang miskin dan gelandangan di emper masjid sebagai obyek yang harus dibantu….”

Artinya, khotbah-khotbah itu hanya diomongkan, tidak dilaksanakan ke dalam perbuatan sehari-hari. Nurinwa memperbandingkan dengan Eropa yang lebih “Islami” dan lebih beradab dalam memperlakukan manusia dan semua mahluk hidup pada umumnya.

Sayangnya, Nurinwa menyimpulkan terlalu dini, bahwa kesalahan itu adalah karena agama Islam tidak cocok dengan kehidupan, bukan karena “kyai-kyai” tersebut sebenarnya hanya “Islam KTP” alias pura-pura Islam, namun perilakunya sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Mungkin hal itu disebabkan karena “Kyai-kyai Islam KTP” di Indonesia—bahkan di seluruh dunia Islam—jumlahnya sangat banyak, ketimbang yang benar-benar Islam dan meneladani Rasulullah, sehingga banyak yang menjustifikasi bahwa Islam mengajarkan keburukan. Itulah sebenarnya tantangan pemimpin Islam yang benar-benar taqwa dan tawadhuk.

Dan hal itu memang sudah diramalkan sendiri oleh Nabi Muhammad Rasulullah, bahwa “kelak di akhir zaman, ummatku banyak yang meniru perilaku ummat lain….”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun