Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

'Korban' vs pengacara eyang Subur di 4 Mata

18 April 2013   00:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:01 2545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebelumnya saya meminta maaf se besar besar nya kepada semua fihak yang terkait yang diceriterakan dalam artikel ini sebab dalam tulisan ini saya sama sekali tidak menempatkan siapapun sebagai terdakwa atau korban dalam pengertian yang sesungguhnya,karena semua baru hanya ‘dugaan’ dan saya sendiri tak berani membuat vonis apapun terhadap sesuatu yang saya sendiri tidak tahu pasti.dan pemberian tanda kutip pada kata ‘korban’ menunjukkan saya tidak menempatkan mereka sebagai korban dalam pengertian yang sesungguhnya,dan itu menunjukkan saya tidak tahu hakikat siapa yang salah dan siapa yang benar sesungguhnya dalam masalah ini.

Saya tertarik mengangkat tema ini karena ada hal menarik yang bisa menjadi pelajaran bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini kelak,setidaknya bila kelak berhadapan dengan kasus serupa-yang bersangkutan dengan yang diduga kejahatan yang bersifat abstrak-gaib.

Dan sebelumnya saya meminta maaf bila ada kekeliruan yang tertulis,mohon dikoreksi.anggaplah artikel ini nasihat kepada semua fihak, apakah itu yang diduga korban-yang diduga pelaku maupun pengacara dari kedua belah fihak agar terbuka hatinya untuk mencari solusi yang terbaik bagi semuanya,sehingga ujungnya : benarkan yang benar dan salahkan yang salah.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menarik menyaksikan acara ‘Empat mata’ yang menampilkan debat antara (diduga) korban   vs pengacara eyang Subur,sebuah perdebatan yang diselingi emosi tinggi dari sang ‘korban’ dan di sisi lain kecakapan ber argumentasi sang pengacara.

Menarik,….. karena itu perdebatan masalah hukum yang unik dan langka sebab bersangkutan dengan ‘korban’ yang merasa telah menjadi korban kejahatan yang bersifat abstrak-gaib.

Dan yang unik adalah disini sang pengacara pasti tahu bahwa ia tengah berhadapan dengan kasus hukum yang ‘tidak biasa’ sebab bersangkutan dengan masalah dunia gaib,tapi dalam argumentasinya ia nampak selalu bersandar pada argumentasi yang sangat ‘text book’ sekali yang biasa menjadi  pakem pembelaan sang pengacara, tetapi sayang argumentasi nya seperti tidak ada bedanya sama sekali dengan ketika ia berhadapan dengan kasus kriminal biasa yang biasanya bisa menghadirkan barang bukti yang bisa dibuktikan secara empirik.

Sang pengacara selalu bermain di wilayah bukti fisik-bukti material,bukti fisik-bukti material teruuus seperti itu,ia seperti selalu meminta para ‘korban’ Eyang untuk menghadirkan barang bukti yang bersifat fisik kehadapannya atau kepada publik,sepertinya ia tidak melihat bahwa ia tengah berhadapan dengan sebuah kasus yang unik yang berbeda dengan yang lain yaitu kasus yang menyangkut perkara gaib yang disini adalah (yang disangka kan) kejahatan  yang bersifat gaib,seperti : santet-guna-guna dlsb.

Sampai disini saya ingin bertanya pada para pembaca : benarkah cara atau argumentasi sang pengacara menurut :

1.ilmu hukum yang anda kuasai

2.menurut suara hati nurani anda

Lha mengapa saya membagi kepada dua kategori ? karena pertama, sangat mungkin di dunia ini ada hal hal yang tidak terakomodasi oleh pasal hukum tetapi tertangkap atau difahami oleh suara hati nurani, dan kedua,karena bisa saja ‘benar’ menurut hukum tapi berlawanan dengan suara hati nurani

Sebab kalau patokannya hanyalah buku buku text book ilmu hukum-ilmu ke pengacaraan sebagaimana yang ia pelajari di bangku kuliah mungkin yang dilakukan sang pengacara eyang Subur seperti diatas akan memperoleh nilai sempurna dari sang dosen ilmu hukum karena telah berhasil - sempurna dalam mempraktekkan dalil dalil yang ia hapalkan sejak di bangku kuliah,artinya ya... begitulah ilmu ke pengacaraan yang formal,disukai atau tidak oleh fihak tertentu.

Tapi kalau fikiran kita fleksibel dan lebih menggunakan suara hati nurani (bukan menggunakan text book  hukum semata sebagai sandaran ) maka apakah cara yang nampak ‘formal’-‘text book’ seperti diatas itu cara yang tepat dan benar …. padahal ia sedang berhadapan dengan para korban (yang diduga) kejahatan yang bersifat gaib yang tentu saja akan merasa kesulitan bila disuruh menghadirkan bukti kejahatan yang bersifat gaib, sehingga solusi solusi lain termasuk yang ditawarkan para ‘korban’ menurut saya sebaiknya harus mulai dipertimbangkan oleh pengacara maupun hakim sepanjang tidak merugikan salah satu fihak dan tidak berlawanan dengan hukum agama.

Sehingga saya sendiri suka meraba-raba : melihat sang pengacara yang sangat ‘text book’-yang sangat pakem kepada dalil ‘bukti empirik’ yang selalu di ulang ulang itu apakah karena beliau ingin taat hukum atau (maaf) hanya sebuah ‘siasat’ untuk menjebak para ‘korban’ eyang Subur ? sebab dengan menuntut bukti fisik-bukti empirik kepada para ‘korban’ maka cara seperti itu memang akan nampak seperti menjebak mereka (para ‘korban’) pada ketidak berdayaan karena mereka tak akan berdaya bila diharuskan menghadirkan (yang diduga) ‘kejahatan’ eyang Subur itu ke permukaan untuk jadi barang bukti.

Bila-andai-misal itu hanya ‘siasat’ maka saya suka merenung : apa arti adanya profesi pengacara yang dibayar oleh sang terdakwa untuk membela nya apakah itu untuk menjadikannya sebagai abdi sang terdakwa atau untuk menjadikannya sebagai abdi hukum- abdi keadilan ?...saya juga suka merenung tetapi terkadang suka digoda prasangka buruk : apa sebenarnya yang dicari oleh para pengacara diseluruh dunia ini, kemenangan kliennya ataukah keadilan bagi semua fihak (?).

Tetapi sebagai orang beragama saya harus membuang semua persangkaan buruk kepada siapapun termasuk kepada pengacara eyang Subur,(mohon maaf bila deskripsi saya diatas tentang beliau keliru) mudah mudahan yang dicari oleh beliau adalah keadilan sejati yang sesuai hati nurani-sesuai asas asas keadilan bukan sekedar kemenangan klien nya.

Di sisi lain saya melihat upaya sang korban (saudara Arya wiguna disini) yang karena ia tahu ia merasa kesulitan menghadirkan bukti ‘kejahatan’ Eyang dengan secara fisik maka mungkin ia berupaya mencari cara lain untuk ‘menjebak’ Eyang dengan cara yang bersifat abstrak yaitu dengan cara mengajak sang Eyang menjadi imam sholat berjamaah, dengan cara demikian Arya berharap akan ada atau terjadi semacam benturan atau pertarungan hitam-putih antara kekuatan Tuhan vs kekuatan saitan dan berharap nantinya kekuatan saitan bisa dikalahkan sehingga terbuktilah ‘kejahatan’ (yang diduga) dilakukan oleh Eyang.

Apakah cara yang ditempuh saudara Arya adalah cara yang benar ? bila kita mengacu pada kacamata sudut pandang agama maka menurut kacamata sudut pandang agama apa yang disebut ‘kejahatan gaib’ seperti sihir dan termasuk yang sejenisnya seperti santet, guna-guna dlsb. memang ada, dan agama memiliki cara atau tekhnik tersendiri untuk menghadapi hal hal seperti itu misal dengan dzikir atau do’a atau bacaan tertentu,sehingga dari agama kita mengenal atau menangkap ada pertarungan hitam-putih yang bersifat gaib antara kekuatan Tuhan vs kekuatan saitan.

Tetapi sangat disayangkan bila pengacara eyang Subur seperti kurang bersikap akomodatif terhadap tuntutan saudara Arya itu,ia malah mempermasalahkan konsep sholat yang menurutnya tidak bisa disetting oleh fihak tertentu karena itu adalah masalah yang dianggapnya bersifat pribadi,karena menurut saya tidak ada salahnya bila tuntutan saudara Arya itu di akomodasi secara terbuka,disamping tidak merugikan Eyang baik lahir maupun batin cara demikian juga justru akan bisa membersihkan nama Eyang bila Eyang kelak bisa secara ikhlas menjadi imam sholat dan lalu melakukan sholat secara khusyu sebagaimana yang menjadi tuntutan Arya.

Sehingga menurut saya : dalam kasus ini mungkin argument sang pengacara adalah memang begitulah sesuai text book ilmu ke pengacaraan sehingga dimanapun mungkin para pengacara akan bersikap seperti itu, tetapi dalam kasus seperti ini para pengacara sebaiknya juga harus mulai membuka mata hati kepada tuntutan tuntutan fihak yang diduga korban sepanjang tidak merugikan fihak lain atau sepanjang memberi solusi, bila keadilan (bukan kemenangan) yang dicari oleh semua fihak.

Nah kasus ini menjadi pelajaran bagi kita semua termasuk para anggota dewan yang hendak memasukan pasal santet kedalam RUU KUHP,agar kelak belajar membedakan kasus kasus seperti ini dengan kasus kriminal biasa yang berhubungan dengan bukti fisik yang bisa dihadirkan sebagai barang bukti.dan agar belajar memakai kacamata agama agar memiliki berbagai opsi jalan keluar terbaik sebagaimana salah satu contohnya adalah cara yang diminta oleh saudara Arya Wiguna,yang  menurut saya tuntutan Arya sah sah saja sepanjang tidak merugikan siapapun-fihak manapun,sebab apa salahnya bila meminta sekedar menjadi imam sholat ?.walau dari kacamata logika agama memang benar menjadi imam yang khusyu bagi seorang yang misal-andaikan terbiasa berkolaborasi dengan saitan tentu saja akan merupakan sebuah pekerjaan yang ‘berat’.(nah,disini logika kita bisa menangkap dan memahami logika maksud tujuan saudara Arya).

Lalu bagaimana menegakkan keadilan dalam masalah ini ? menurut saya bila ingin menegakkan keadilan dalam masalah ini adalah :

1.jangan menyamaratakan kasus seperti ini dengan kasus kriminal biasa yang biasanya memiliki bukti fisik yang bisa dihadirkan dipengadilan,upayakan jalan keluar yang berbeda dengan kasus kriminal biasa yang tentu tidak berlawanan dengan hukum agama

2. bila para korban menuntut cara cara tertentu misal dengan menggunakan media-cara yang ada dalam agama seperti yang dituntut oleh Arya yang ‘diduga’ korban eyang Subur maka hakim harus ikhlas melayani tuntutan para korban selama tuntutan itu tidak merugikan baik terdakwa maupun korban. ini demi untuk mengakomodasi rasa keadilan dan melenyapkan rasa kepenasaran pada ‘si korban’. sebagai contoh : sebagaimana kita ketahui dalam kasus eyang Subur,saudara Arya menuntut Eyang untuk mengimami mereka solat berjamaah,nah bila hakim menolak tuntutan Arya dan kukuh meminta bukti fisik-empirik maka hakim seperti bersikap tidak adil dan tidak bijak sebab seharusnya ia tahu bahwa ia sedang menjadi hakim atas kasus yang bersangkutan dengan dunia gaib,sehingga cara cara yang bisa mengakomodasi rasa kepenasaran si korban seharusnya dikabulkan selama itu tidak merugikan salah satu fihak,dalam kasus eyang Subur apa ruginya meminta eyang Subur mengimami solat berjamaah, sebab malah dengan menjadi imam itu bisa menjadi semacam pembelaan tersendiri bagi Eyang bila memang beliau tidak bersalah,sebab dengan menjadi imam solat dengan ikhlas dan khusyu lalu setelah selesai sholat itu ia menyalami secara damai para ‘korban’nya maka ia seperti lulus tes awal dugaan kejahatan,  dan kecurigaan para ‘korban’ bisa jadi akan berkurang.tetapi bila menolak (menjadi imam) atau bila permintaan Arya itu ditolak hakim atau pengacara Eyang maka hakim harus bisa meraba perasaan para korban,sebab jangan salahkan bila kecurigaan para ‘korban’ kelak malah bisa jadi mungkin akan makin menguat.

Sebagaimana anda tahu lewat acara ‘Empat mata’ itu bahwa para korban demikian emosional nya dalam mengungkapkan kasus itu hingga yang satu menceriterakannya sampai menangis dan yang lain sampai membentak bentak sang pengacara saking tak bisa menahan emosinya,sehingga apakah melalui realitas seperti itu hati nurani anda menangkap sebuah keyakinan tersendiri,misal yakin mereka adalah ‘korban’ kejahatan gaib ?

Sebab walau ribuan halaman buku yang berhubungan dengan masalah hukum dibaca, tak akan ada satu pun ayat - pasal hukum yang secara langsung akan memposisikan seseorang sebagai ‘korban’ hanya karena korban emosional hingga menangis darah sekalipun.sebab di pengadilan sekali pun walau sang korban dan keluarganya demikian emosional sampai menggebrak meja hakim misal, itu tetap tak akan membuat hakim menempatkan mereka langsung sebagai korban atau apalagi fihak ‘yang benar’, sebab dalam pandangan hukum formal untuk disebut korban tetap lah harus berdasar bukti fisik atau pengakuan bersalah sang terdakwa di pengadilan.

(disinilah dalam pengadilan sang hakim memerlukan peralatan lain selain pengetahuan hukum yang formal yaitu : hati nurani,dalam upaya ‘meraba’ siapa atau mana yang salah dan siapa atau mana yang benar walau tentu tidak boleh mengandalkan nurani belaka tapi harus berkelindan dengan berpegang pada aturan serta pasal-pasal hukum yang adil ).

Dan dalam hal ini M U I bisa menjadi penengah dan inspirator karena mereka para ulama memiliki ilmu tentang adanya yang gaib dibalik yang lahiriah,dan mengetahui ada kejahatan yang bersifat gaib yang dilakukan terhadap manusia dan mungkin memiliki berbagai opsi tersendiri sebagai jalan keluar terbaiknya.

Demikian, mudah mudahan memberi pencerahan bagi semua fihak yang terkait langsung maupun tak langsung………mohon maaf atas kesalahan yang tertulis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun