Belakangan media elektronik gencar memberitakan masalah kebakaran hutan yang menerpa banyak kabupaten di Provinsi Jambi. Isu kebakaran (deforestasi) hutan telah menjadi isu rutin yang menyebabkan terjadinya dampak negatif dalam ruang sosial-ekonomi serta ekologi masyarakat. Pembakaran hutan diasumsikan sebagai cara yang efektif untuk kebutuhan pembukaan lahan baru. Pun, anggaran yang dikeluarkan tentunya relatif murah ketimbang harus menggunakan alat-alat berat prosesi penebangan. Sayangnya, para pembakar hutan dan korporat melihat fenomena diatas hanya sebagai sumber keuntungan semata. Tidak lebih dari itu, mereka melupakan persoalan kemanusiaan dan kerusakan alam (ekologi-sosial) atas terjadinya pembakaran hutan.
Seolah-olah asap padat pencemar udara sehat telah menjadi ancaman permanen bagi masyarakat. Namun, masyarakat justru memiliki kecendrungan tidak mampu untuk mengantisipasi, atau setidaknya melakukan pencegahan pembakaran hutan. penulis meyakini bahwa belum ada pembangunan dan proses internalisasi kesadaran kritis yang berwawasan lingkungan hidup dalam kerangka berpikir masyarakat Jambi.
Ekologi-sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik yang bersifat adaptif antara lingkungan alamiah dan sosial. Oleh karena itu, ekologi-sosial merupakan relasi yang sarat akan manusia (masyarakat) dan lingkungan hidup, dimana masyarakat harus menyesuaikan sikap dan prilakunya pada alam guna mempertahankan keberlangsungan penghidupan merekaa: ketika menebang harus menanam kembali, menjauhi cara-cara instan seperti pembakaran untuk pembukaan lahan baru, sehingga tidak berdampak pada kerusakan alam, khususnya pencemaran udara.
Menurut Yukio Aoshima, masyarakat berwawasan ekologi sebagai masyarakat yang peduli terhadap udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan hijau dan karunia-karunia alam lainya. Namun, dalam kasus pembakaran hutan yang terjadi berulang-ulang di Jambi, mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki kencendrungan apatis terhadap persoalan lingkungan. Walaupun pasca pembakaran, saat berlangsungnya pencemaran udara, masyarakat tersadarkan oleh asap yang ternyata mengancam keberlangsungan hidup mereka: menghambat mobilitas sosial, mobilitas ekonomi hingga kebudayaan dan kebiasaan bertradisi masyarakat itu sendiri.
Oleh karenanya, masyarkat Jambi terlebih harus memiliki kesadaran kritis berwawasan ekologi. Kendati sadar bahwa pembakaran hutan dinilai merusak tatanan sosial-ekonomi masyarakat, maka diperlukan adanya aksi-aksi preventif dan persuasif untuk mengkampanyekan lingkungan hijau sehat.
Tentunya dibutuhkan peran penting pemerintah untuk melakukan pemberdayaan masyarakat yang berbentuk pemberian pendidikan berwawasan lingkungan. Tidak hanya memberikan pemberdayaan untuk menginformasikan hal-hal yang, misalnya, membedakan sampah organik dan non-organik dan buanglah sampah pada tempatnya. Pun, harus pada permasalahan yang lebih mendasar, membangun kesadaran masyarakat tentang pembakaran hutan yang secara langsung berdampak pada aktivitas lini sektoral (sosial, ekonomi, budaya). Tentunya pemberdayaan seperti itu yang perlu ditingkatkan ditengah permasalahan kebakaran hutan yang tidak berkesudahan.
*Penulias adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tidar.