Mohon tunggu...
Tria Cahya Puspita
Tria Cahya Puspita Mohon Tunggu... Lainnya - -

Katakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Lihat, dengar dan rasakan...menulis dengan hati.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pawai Ogoh-ogoh, Sebuah Tradisi Masyarakat Bali Menjelang Pergantian Tahun Caka

25 Maret 2013   10:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:15 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya kembali menyaksikan tradisi menjelang hari Raya Nyepi yang jatuh pada tanggal 12 Maret 2013 tahun ini, setelah beberapa tahun absen. Tradisi tersebut selalu ada satu hari menjelang hari pergantian tahun kalender Bali. Dan tradisi itu selalu dinantikan, baik oleh penduduk Bali maupun para turis mancanegara dan domestik yang sengaja datang menjelang tahun baru Caka.

Beberapa minggu sebelumnya, masing-masing banjar sudah memulai persiapan pembuatan patung. Penduduk Banjar akan membuatnya secara bersama-sama. Antar Banjar akan saling berupaya membuatnya sebagus mungkin, menunjukkan kreasi penciptaannya. Sedangkan biaya pembuatannya mendapat subsidi dari Pemerintah Daerah Bali. Namun, terkadang Banjar harus menombok bila biayanya melebihi subsidi yang diberikan.

Patung tersebut nantinya akan diarak di jalan-jalan, diiringi Baleganjur ataupun musik lainnya. Bergoyang-goyang karena putaran oleh pembawanya ataupun karena guncangan pada tatakan bambu di bawahnya. Patung tersebut akan berjalan beriringan satu sama lain menghasilkan barisan pawai. Inilah yang disebut parade Ogoh-ogoh, suatu tradisi unik malam sebelum pergantian tahun Bali.

Siang hari sebelum pawai Ogoh-ogoh berlangsung, patung-patung tersebut berdiri di pinggir jalan selayaknya pagar ayu dan pagar bagus yang menyambut tamu. Bersiap-siap untuk diarak keliling oleh para pembawanya.

Ponakan saya begitu antusias setiap kali ia melihat Ogoh-ogoh di pinggir jalan. "Tante...itu dia ! Itu dia ogok-ogok," celotehnya lucu meskipun tak bisa menyebutnya dengan benar.  "Wooo...besar tante ogok-ogoknya,' ucapnya sambil tertawa senang, menceritakan pada saya. Papa dan mamanya serta tentu saja saya, tertawa mendengar riuhnya suara si kecil yang berusia 3 tahun. Ia sangat bersemangat menoleh ke kanan dan kiri, melihat keluar jendela mobil yang melaju dengan pelan.

Kami dalam perjalanan menuju hotel pilihan, tempat kami menginap selama 3 hari 2 malam. Mengambil paket Nyepi yang juga banyak ditawarkan oleh hotel lainnya di Bali. Sengaja memilih hotel yang letaknya tepat di pinggir jalan raya besar, demi menyenangkan hati ponakan saya yang imut. Jalan besar tersebut akan dilalui pawai Ogoh-ogoh malam harinya.

Menjelang magrib, ponakan saya sudah tak sabar untuk melihat pawai Ogoh-ogoh. Ia terus saja menanyakan pada saya dan mamanya. Kami pun akhirnya keluar hotel, menuju jalan raya sekitar pukul 19.30 wita. Telah banyak orang yang menanti di pinggir jalan, sama halnya dengan keinginan kami untuk menonton pawai Ogoh-ogoh.

Beberapa lampu dari toko-toko di pinggir jalan telah padam. Mungkin karena karyawannya telah pulang dan menutup toko. Beberapa lainnya masih menerangi sekitarnya. Kakak, saya dan kedua ponakan menunggu di suatu teras ruko. Ketika terdengar suara musik di kejauhan, kami lantas mendekati pinggir jalan. ""Itu dia mama ! Ayo...ayo kakak, ayo tante !" Ponakan kecil seolah ingin berlari menontonnya. Saya hanya bisa senyum-senyum melihat tingkah polahnya yang menggemaskan.

Saya merasakan dan melihat banyaknya perubahan pada Ogoh-ogoh saat ini. Terlihat lebih bagus dan lebih hidup. Bentuknya tidak hanya berwujud raksasa atau butha kala, tapi juga berbentuk tokoh pewayangan, tokoh kartun ataupun pahlawan berkekuatan super. Padahal dulu ketika pertama kali saya melihatnya antara tahun 1997 - 1998, bentuknya begitu menyeramkan, besar, memiliki taring dan terkadang berwarna selain warna kulit manusia seperti merah dan hijau. Ini merupakan perwujudan dari mahkluk-mahkluk jahat. Dalam satu tandu bisa terdapat beberapa patung yang bertumpuk ataupun saling bertarung.

Musik yang mengiringi Ogoh-ogoh saat ini jauh berbeda dengan dulu yang berupa musik baleganjur, kesenian gending Bali. Ogoh-ogoh yang berada di atas rakitan bambu itu diiringi dengan speaker dan musik hingar bingar ala aringkingkingking atau musik dugem. Memang masih ada beberapa Banjar yang menggunakan musik kesenian Bali, namun lebih banyak yang menggunakan musik berdentam-dentam.

Dulu orang beramai-ramai memanggul Ogoh-ogoh, memutar-mutarnya, membawanya ke kanan dan kiri serta sengaja mengangkat atau menurunkan sebagian sisi dari tandu bambu, mengikuti iringan musik. Hal itu memberikan efek terhadap patung yang berada di atas, bergerak seolah menari. Belum lagi lingkungan sekitar menciptakan suasana yang mencekam dengan padamnya lampu di pinggir jalan. Lampu dibuat menyinari sebagian sisi ataupun anggota tubuh Ogoh-ogoh untuk memberikan efek seram. Hanya ada obor api yang menerangi jalannya para Ogoh-ogoh. Dan orang-orang yang memanggulnya berpakaian hitam-hitam. Suasana magis pun tercipta. Masyarakat Bali percaya bahwa dengan membunyikan berbagai bunyi-bunyian, menyalakan api dan mengusung ogoh-ogoh pada malam sebelum hari Raya Nyepi, akan mengusir arwah-arwah jahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun