Mohon tunggu...
Tofik Pram
Tofik Pram Mohon Tunggu... Jurnalis - Warga Negara Biasa

Penulis dan editor konten lepas http://tofikpr.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pamer Paha

22 Februari 2013   02:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:55 2556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="japantoday.com"][/caption] DI Indonesia, sebagian besar orang –utamanya mereka yang berdomisili di kota besar-- mungkin sudah sering mendengar istilah “pamer paha”. Ya, betul, itu adalah akronim dari “padat merayap tanpa harapan”, alias istilah sinis untuk menggambarkan kondisi kemacetan yang luar biasa. “Pamer paha” jenis itu tentu dihindari. Tapi, di Jepang, ceritanya lain lagi. Pamer paha juga ada di sana. Bahkan sekarang juga ngetren, seperti “pamer paha” di Indonesia (dengan sangat terpaksa saya menyebut kemacetan adalah tren, karena memang begitulah adanya). Pamer paha di Jepang ini tak memakai tanda kutip. Karena, benar-benar paha yang dipamerkan di sana. Bukan akronim, bukan istilah. Dan tentunya, terutama bagi para pria, ini adalah jenis pamer paha yang “tak layak dihindari”. Jepang, negara paling modern dan paling cepat laju teknologinya di Asia ini, sekaligus negeri yang suka “aneh-aneh”, punya terobosan baru dalam dunia periklanan. Memperkenalkan produk tak lagi melalui media massa, billboard, videotron, banner, atau media iklan yang sudah jamak, tapi mereka memanfaatkan paha wanita sebagai media! Filosofi pemilihan paha perempuan sebagai media iklan ini masih sama seperti yang digunakan oleh orang-orang komunikasi pemasaran konvensional; karena wilayah ini menarik perhatian. Dari pertimbangan display itu, ya tentunya tak jauh beda dengan strategi periklanan menggunakan media yang sudah ada selama ini, di mana papan iklan ditempatkan di titik strategis yang bisa menarik perhatian banyak orang. Dan, sudah barang tentu, media iklan berjalan di paha wanita ini bisa menarik perhatian orang-orang. Strategi paha ini sangat manjur. Banyak perusahaan Tokyo yang memasang iklan di paha-paha. Bahkan, album band Punk asal US, Green Day, ikut memasang iklan untuk album mereka, “Uno” yang telah diluncurkan September lalu, dip aha mulus perempuan jepang. Namun, sampai saat ini, belum disebut berapa nilai paparan iklan ini. Juga apakah berpengaruh bagi brand pemasang iklan dan mendongkrak penjualan atau tidak. Pada November 2012, sudah terdaftar sekitar 1.300 wanita yang mendaftarkan paha mereka untuk ruang iklan bagi PR, Absolute Teritory. Jumlah ini terus meningkat. Pemilik paha yang berpartisipasi akan mendaftarkan kaki mereka untuk dicap dengan iklan. Mereka diwajibkan memakai celana/rok pendek. Setelah dicap, mereka beraktivitas biasa sehari hari memamerkan iklan kepada sebanyak mungkin orang. 'Durasi Tayang' iklan ini 8 jam sehari. Sebagai bukti hasil kerja, pemilik paha juga harus mengunggah gambar diri mereka saat sedang terpasang iklan ke jejaring soial Facebook, Twitter atau sejenisnya. Mereka dibayar layaknya pemilik papan reklame Eichi Atsumi, salah satu juru bicara di agen iklan itu, menyebut, pemilik paha harus mematuhi pedoman untuk mendapatkan pekerjaan ini. Setidaknya, akun jejaring sosial mereka terhubung pada 20 orang dan usia mereka lebih dari 18 tahun. Sayang, tak disebut bea tarif sewa paha itu dan apakah kena pajak atau tidak.

***

INILAH parade industri. Periklanan adalah salah satu bentuk kegiatan industri yang lajunya paling kencang. Dia juga bisa disebut sebagai garda terdepan dalam pemasaran produk. Kreativitas di dunia itu sepertinya tak pernah ada matinya. Dan atas nama kreativitas, pagar-pagar privat pun diterabas. Dieksploitasi habis-habisan. Ya seperti paha itu. Pemahaman bahwa wilayah tersebut adalah salah satu ruang privat, yang bagi wanita muslim itu adalah aurat yang haram jika dilihat pria yang bukan muhrim, telah diputarbalik ketika landasan konstruksi pikirnya adalah keuntungan. Dan, industri memang selalu berlari makin kencang, seperti yang dijabarkan Hikmat Budiman dalam “Lubang Hitam Kebudayaan”. Kencangnya industri yang sudah jadi kebutuhan pokok manusia-manusia modern, pun melahirkan pamer paha-pamer paha, baik sebagai istilah maupun harfiah. Kemacetan yang dianalogikan dengan pamer paha di kota besar juga itu juga karena manusia-manusia merasa "dikejar kebutuhan". Harus bergegas berproduksi, dikejar waktu, dan saling mendahului, yang menyebabkan penumpukan kendaraan di jalan. Di kala bersamaan, kompetisi produk kian gila, tumbuh semakin liar, sementara ruang untuk memperkenalkannya kian sempit. Tapi, di sisi lain yang pararel, produksi harus terus berjalan. Produk harus terus dipasarkan. Ketika yang konvensional sudah tak mampu mencukupi kebutuhan ruang, yang frontal jadi pilihan.Tubuh, yang sebelumnya dipahami sebagai ruang privat –kata Foucault—ditarik paksa masuk ke ruang publik. Hingga akhirnya paha-paha pun dipamerkan. Dilukis dengan produk-produk tertentu. Ruang privat jadi konsumsi publik. Syahwat konsumtif-libidinal dimanjakan habis-habisan. Benar kata Marshall McLuhan; kebudayaan global, yang ditandai industrialisasi yang kian edan, telah mendegradasi ruang-ruang pribadi. Semuanya milik bersama, termasuk manusia-manusia yang privasinya dipaksa untuk hilang, atas nama industri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun