Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gara-gara Mengejar Layangan Putus

5 November 2019   06:50 Diperbarui: 5 November 2019   07:59 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi:https://elipsir.com/layangan-putus-full/2/

Berbagi Pengalaman Pribadi

Belakangan ini ,tagar #layangan putus#,konon menjadi viral di berbagai media massa. Tapi sejujurnya,saya sama sekali tidak tertarik untuk membaca tentang "layangan putus" ,apalagi sampai ikut rebutan mengejarnya.Mengapa? Tentu tak terlepas dari pengalaman pribadi ,yang pernah saya alami.

Suatu siang, ada suara yang berteriak:"  Ada Layang layang putus....!" Nah,ini adalah kebiasaan anak di kampung ini, bila ada kode ini, maka hampir seluruh kegiatan dihentikan, hanya untuk mengejar layangan putus. Sebagai salah seorang anak di desa ini, saya tentu saja tidak ketinggalan. Padahal pada waktu itu,saya sedang memegang piring yang berisi nasi jagung dan sepotong ikan asin, untuk makan siang. Saking terburu buru nya mau mengejar layangan putus, tergesa gesa piring berisi nasi, saya tinggalkan di meja dan berlari sekencang kencangnya untuk ikut berburu layangan putus.

Dengan kaki telanjang,saya berlari bagaikan dikejar anjing gila .Sama sekali tidak memperhatikan keselamatan diri.Satu satunya yang ada dalam benak saya adalah :"mendapatkan layangan putus tersebut

Awalnya,tampak layangan seakan hanya tinggal beberapa meter lagi.Tapi tiba tiba angin bertiup kencang dan layangan tak bertuan itu  melayang jauh. Tapi saya terus mengejar.dari rumah orang tua kami di Jalan Kali Kecil 4 ,Pulau Karam,hingga hampir sampai di Simpang Enam,tampak layangan darek yang cantik itu mulai menurun dan tersangkut di pohon rambutannya Uda Toya.Bagaikan tersedot kekuatan gaib,beberapa orang anak yang tiba di lokasi ,termasuk diri saya,mulai memanjat pohon rambutan orang,tanpa izin.Secara hampir berbarengan, 4 orang anak sudah berhasil meraih layangan ini.

Saya memegang bagian kepala,ada yang memegang pinggangnya dan ada yang menarik ekornya .Akibatnya,sudah dapat dibayangkan,layangan cantik tersebut,berubah menjadi patahan potongan bambu dan sobekan kertas.Semua turun dan puas.karena tidak seorangpun berhasil memiliki layangan tersebut. Semua pulang kerumah,dengan meninggalkan layangan yang sudah hancur di pekarangan Uda Toya.

Tentu saja yang punya rumah sangat berang,karena sudah masuk pekarangan tanpa izin,manjat pohon rambutan yang lagi sarat berbuah dan meninggalkan sampah berserakan. "Onde mande.. ala gilo anak anak ko kasado alanyo."(Aduh ,anak anak ini sudah jadi gila semuanya).Tapi bagi kami anak anak,mana peduli akan hal itu.

Pulang Kerumah ,Apa Yang Terjadi?

Tiba dirumah dengan nafas tersenggal,saya ingat jatah nasi makan siang .Dan buru buru ke meja makan.Tapi ternyata,disana tampak kucing kami Si Belang,lagi menjilat jilat lidahnya dan tampak kekenyangan,makan nasi dengan lauk ikan asin. Saya terpana.Mau saya gebukin kucing tersebut,saya tidak tega. Akhirnya saya duduk murung di dapur,karena jatah makan siang sudah habis dimakan kucing,gegara mengejar layangan putus

Ibu saya menyaksikan saya duduk muram dan bertanya ada apa? Maka saya ceritakan semuanya secara jujur.Ibu saya  memberikan saya sepiring nasi,sebagai penggantinya.Dan dengan lahap saya habiskan,saking lapar. Saya baru tahu belakangan, bahwa akibat ingin mengejar layangan ,nasi jatah makan siang saya dimakan kucing dan ibu saya yang harus menahan lapar.

Pengalaman kecil ini,sangat membekas dalam hidup saya dan memahami,bahwa ibu saya lebih menyayangi diri saya anaknya ,melebihi diri sendiri. Saya sungguh sangat menyesal Yang mau dikejar adalah sesuatu yang tidak berharga,namun saya sudah menyia nyiakan sesuatu yang berharga. Kejadian yang sudah berlalu hampir 7o tahun lalu,tapi saya jadikan kilas balik dalam kehidupan,agar jangan pernah mengejar sesuatu yang belum pasti,dengan mengabaikan apa yang sudah ada pada kita.

Hanya renungan kecil di pagi cerah ini

Tjiptadinata Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun