Panasnya suhu politik Jakarta sudah mulai terasa bahangnya, termasuk di kompasiana ini. Apa lagi sejak Gubernut petahana A Hok menyatakan akan maju pada pilkada tahun depan melaui jalur independen. Ada salah satu partai yang -sepertinya- kebakaran jenggot.
Jika dulu ada partai politik yang sangat merasa dikecewakan A Hok, hal itu wajar, karena parpol tersebut 'merasa' berjasa mengusung A Hok di Jakarta, yang kemudia hari A Hok memilih keluar dari parpol tersebut. Wajar merasa kecewa, jengkel bin marah. Lha ini tidak ada hal yang dilanggar, kan maju lewat independen itu halal sacara undang-undang, namun ada parpol sampai melontarkan label deparpolisasi.
Pada hal maju bertarung dalam pilkada melauli jalur indenpenden itu sah, sebagai jalan alternatif jika terdapat kebuntuan untuk melalui jalur usungan parpol. Begitu juga A Hok. Perkara nantinya kalah atau menang itu soal lain, tentu A Hok sudah siap mental untuk hal itu.
Yang saya bayangkan adalah jika semua parpol -minus Nasdem tentunya - kemudian ramai-ramai bersatu mengusung jaho tunggal untuk mengeroyok A Hok ,maka akan ada dua koalisi. Yaitu satu koalisi partai po0litik dan yang satunya lagi  koalisi anak muda yang tergabung dengan Teman A Hok. Dan andaian saya jangan-jangan bisa melebar menjadi dikotomi koalisi parpol versus koalisi 'rakyat'. Tentu saja tidak mungkin semua warga Jakarta masuk dalam koalisi 'rakyat' ini. ( Nanti ada yang sinis : rakyat yang mana ? Ya rakyat yang mendukung pencalonan A Ahok lewat jalur independen itu.) Dalam hal ini Nasdem cerdas karena masuk dalam barisan koalisi bersma 'rakyat'.
Jika persepsi publik terjadi demikian -koalisi parpol versus koalisi 'rakyat' -kelak maka A Hok manang atau kalah dalam pilkada DKI maka dia tetap menjadi 'the real juaranya' karena dia dipersepsikan dalam barisan rakyat dan koalisi parpol akan menjadi pihak yang 'tetap kalah'. Ini hanya berandai-andai saja kawan. Jangan ada yang tengsi, ok ???