Tersebab perbincangan kecil antara saya dengan Dra. Nuraeni, M.Pd Pengawas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur. Hingga kemudian melalui KutuBuku, komunitas di Kompasiana bersepakat untuk mengadakan Pelatihan Menulis bagi Guru-Pengawas dan Kepala Sekolah.
“Saya berterima kasih pada Bu Atjih, sehingga Pak Thamrin dan Pak Isson datang ke SMPN Satu Cipanas untuk mengadakan pelatihan menulis bagi guru di Cianjur,” kata Pak Tono Hartono, Kepala Sekolah SMPN 1 itu, Rabu siang (22/2) di Ruang kerjanya. Kelanjutan yang manis.
Maka, Kamis (23/2) esok harinya acara dari sambungan ini terjadi. Guru beberapa sekolah tergabung di sini dengan nawaitu meluruskan niat belajar dari para pembelajar. Maka absah: pembagian atawa belajar bersama perihal menulis, dalam seharian terjadi. Ini jika dikaitkan dengan kata-kata pionir Kompasiana Pepih Nugraha: Tak ada sekolah menulis, yang ada berbagi dalam menulis.
“Dalam menulis, kita perlu fokus, konsentrasi,” jelas Isson, kemudian.
Inilah seni menulis berbagi dengan cara yang sepertinya mudah. Meski, ada target dari minat dan niat yang tak bisa dicapai dengan baik. Kata lain. Bahwa menulis pun perlu terus-menerus mengasah. Tak cuma mengerti teori. Walau, ibarat baru dalam belajar naik sepeda tak ada teori secara benar. Bisa ditempuh dari berbagai cara, dan bisa jatuh-bangun untuk kemudian bisa mengendarai kereta angin. Di ujungnya ada rangkaian kata, dan yang penting, sebuah tulisan ibaratnya: More than Word.
Rangsangan ini, menggoda. Bahwa menulis, seperti kerap muncul salah satunya untuk melawan lupa, sebagai penyampaian tentang sesuatu yang berupa teks kepada pihak lain. Konteksnya, tentu, apa yang dikuasai masing-masing individu. Dituangkan dalam bentuk tulisan secara runtut-utuh-bermisi untuk dibagikan. Dan jika kini sudah merambah dunia digital di era milenial ini, nah gurulah yang bisa menularkan tulisannya kelak sebagai buah pemikirannya di luar tugas mendidik di empat dinding ruang kelas.
Dari sinilah niat berbagi dalam acara pelatihan ini. Jika menulis itu ada misi menjadi manusia bermarwah dan tak terjebak moto tren belakangan dari plesetan: Jarimu, Hariamaumu. Kalau dalam menulis, perlu rem. Perlu pemikiran-kebijakan-perbaikan akal budi. Sebagai pendidik, tentu, mengerti apa arti dampak jika dirinya menuliskan sesuatu di media apa pun di era kekinian.