Mohon tunggu...
Teddy Syamsuri
Teddy Syamsuri Mohon Tunggu... lainnya -

Ketua Umum Lintasan '66, Wakil Sekjen FKB KAPPI '66, Pendiri eSPeKaPe, Direktur Kominfo GNM dan GALAK, Inisiator AliRAN.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

“Cabut UU Migas No. 22 Tahun 2001”

18 Februari 2015   09:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:59 1677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Cabut UU Migas No. 22 Tahun 2001”

A.Riwayat RUU Migas menjadi UU No. 22 Tahun 2001

1.Riwayat Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) dilatar belakagi oleh pengajuan Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) Kuntoro Mangkusubroto dalam pemerintahan Kabinet Reformasi Pembangunan Presiden BJ Habibie, yang menurut Kuntoro merupakan bentuk akomodasi terhadap tuntutan liberalisasi perekonomian dalam upaya memecahkan masalah krisis moneter 1998.

2.Untuk melakukan perbaikan pada sektor keuangan secara cepat serta dalam rangka memenuhi bagian dari konten Letter of Intent (LoI) dari Lembaga Donor Internasional (IMF) dalam memberikan bantuan keuangan dan paket kebijakan, RUU Migas dibuat dengan menggunakan acuan dari payung hukum UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).

3.Mentamben Kuntoro telah dengan jelas mengabaikan pemahaman Pasal 50 huruf a UU Anti Monopoli No. 5 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah dikecualikan untuk tidak dilarang. Mengingat sasaran tembak RUU Migas diarahkan untuk menghentikan monopoli Pertamina baik di kegiatan usaha hulu maupun di hilir, yang sebenarnya dikecualikan tidak dilarang untuk Pertamina melakukan monopoli. Pasalnya monopoli yang dijalankan Pertamina bertujuan untuk melaksanakan UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Negara Pertambangan Migas Nasional atau UU Pertamina itu sendiri.

4,RUU Migas dalam upaya menghentikan monopoli Pertamina yang tidak dilarang oleh Pasal 50a UU Anti Monopoli tersebut dengan lebih dulu tidak memberlakukan UU Pertamina No. 8 Tahun 1971 lagi, lalu menyusul dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengalihkan bentuk Pertamina dari statusnya sebagai Perusahaan Negara menjadi Perseroan Terbatas. Tujuannya adalah : 1. Mengakhiri kedudukan Pertamina sebagai Kuasa Pertambangan (KP); 2. Mengakhiri Pertamina sebagai pemegang monopoli dengan cara memecah (unbundling) kegiatan usaha Pertamina yang terintegrasi menjadi beberapa ranting atau anak perusahaan dengan menggunakan badan hukumnya masing-masing; 3. Menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara bertahap, untuk pada akhirnya menyerahkan harga jual BBM kepada persaingan usaha yang sehat atau mekanisme pasar; dan 4. Membuka peluang bagi Badan Usaha (BU) swasta, baik nasional maupun asing, untuk bergerak di sektor usaha hulu dan hilir migas.

5.Mentamben Kuntoro segera meminta bantuan ke Lembaga Pembangunan Agensi Amerika Serikat (USAID) untuk mereview draft RUU Migas, yang oleh USAID di sambut baik dengan USAID mengucurkan dana US$ 20 juta untuk membentuk Tim Asistensi dalam upaya membantu Pemerintah meloloskan RUU Migas di DPR melalui Strategic Objective Giant Agreement (SOGA) yang berlaku untuk 5 tahun.

6.Pembahasan RUU Migas yang dilakukan Pemerintah dan Parlemen berlangsung sangat serius, tapi Fraksi ABRI di DPR menolak keras RUU Migas versi Mentamben Kuntoro Mangkusubroto. Maka RUU Migas bantuan USAID yang diakui bekerjasama dengan Bank Pembangunan Asia (ADB) menjadi kandas dan gagal diundangkan.

7.Presiden BJ Habibie diganti oleh Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), seiring dengan pergantian Kuntoro Mangkusubroto oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk jabatan Mentamben dalam Kabinet Persatuan Nasional Presiden Gus Dur. Terhadap RUU Migas, Mentamben SBY melakukan delibrasi melalui Sekretaris Negara. Tapi sebelum dibahas oleh Presiden Gus Dur, keburu SBY diangkat menjadi Menko Polkam menggantikan Soeryadi Soedirdja. Kemudian jabatan Mentamben yang berubah sebutan menjadi Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), diangkatlah Purnomo Yusgiantoro dari Lemhanas untuk menggantikan SBY.

8.Presiden Gus Dur diganti Presiden Megawati Soekarnoputri, dan dalam Kabinet Gotong Royong rupanya untuk nama Purnomo Yusgiantoro tetap menjabat Menteri ESDM. Menteri ESDM Purnomo menyatakan dibuat dan diajukannya kembali RUU Migas ke Parlemen, setelah draft revisi RUU Migas jilid pertama bisa dirampungkan. Sebab menurut Purnomo, guna memacu segera masuknya investor asing di sektor migas, baik di kegiatan usaha hulu maupun di hilir. Pembahasan RUU Migas yang diajukan Menteri ESDM Purnomo nampaknya berjalan mulus dengan mitra Komisi VIII DPR yang membentuk Pansus RUU Migas, oleh karena Fraksi ABRI sudah tidak ada lagi di Parlemen karena memenuhi tuntutan reformasi 1998.

9.Pada 10 Oktober 2001, pembahasan RUU Migas yang dijadwalkan akan diadakan di Batam yang konon didanai oleh Beyond Petroleum (BP) asal Inggris, batal digelar akibat media massa nasional sempat mempublikasikan hal agenda pembahasan RUU Migas yang di balik itu di duga khawatir di ganggu oleh LSM Anti RUU Migas.

10.Pada 16 Oktober 2001, Fraksi Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB) yang disuarakan oleh Prof. DR. Tunggul Sirait, meminta agar rapat akhir Pansus RUU Migas dapat menerima aspirasi 22 kelompok masyarakat yang menolak RUU Migas, tapi oleh Pimpinan Pansus RUU Migas permintaan itu tidak dihiraukan. Berikutnya Fraksi PDKB juga meminta agar Komisi VIII DPR terlebih dahulu melakukan sosialisasi sebelum RUU Migas yang sudah ditandatangani oleh seluruh fraksi di Komisi VIII dinaikkan ke pembahasan tingkat IV persetujuan RUU Migas untuk diundangkan. Permintaan inipun di gubris saja oleh Komisi VIII DPR yang diketuai Irwan Prayitno (Fraksi Partai Keadilan).

11.Pada 18 Oktober 2001 sekelompok masyarakat sipil terdiri dari Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM), Kelompok 20, Masyarakat Peduli Pertamina (eMPePe) dan Dewan Harian Nasional Angkatan 1945 (DHN 45), yang mengatas-namakan Forum Masyarakat Penolak RUU Migas 2001 mengeluarkan “Sinopsis Menolak RUU Migas Diundangkan”. Sinopsis tersebut kemudian dilayangkan kepada Pimpinan DPR dan Komisi VIII DPR, tapi diacuhkan. Bersyukur beberapa anggota DPR lintas fraksi yang menyambut baik sinopsis dari Forum Masyarakat Penolak RUU Migas 2001 itu, dan materinya kemudian dijadikan acuan anggota DPR lintas fraksi yang digawangi oleh Prof. DR. Dimyati Hartono, SH. MH. yang diperlukan dalam menyusun materi penolakan RUU Migas kelompoknya.

12.Pada 19 Oktober 2001, anggota DPR lintas fraksi mengundang Forum Masyarakat Penolak RUU Migas 2001 untuk suatu pertemuan yang dipimpin oleh Amin Arjoso, SH. Dalam pertemuan itu kemudian menghasilkan perlunya mengirim surat resmi lebih dulu atasnama anggota DPR lintas fraksi kepada Ketua DPR Akbar Tandjung (Fraksi Partai Golkar), dengan suatu memohon agar agenda pembahasan tingkat IV persetujuan RUU Migas menjadi undang-undang perlu ditinjau kembali. Surat dilayangkan pada 20 Oktober 2001 pagi hari ke rumah dinas Ketua DPR di jalan Widya Chandra III No. 10 Kuningan, Jakarta Selatan. Akan tetapi dengan alasan bahwa agenda rapat paripurna sudah terjadwalkan, maka Ketua DPR Akbar Tandjung ternyata tidak bisa mengabulkan permohonan anggota DPR lintas fraksi yang ditandatangani Prof DR. Dimyati Hartono, SH. MH. tersebut.

13.Anggota DPR lintas fraksi pun tidak tinggal diam dan terus berjuang. Pada akhirnya melalui pertemuan singkat pada 22 Oktober 2001 yang dipimpin Hartono Mardjono, SH. kemudian menyepakati untuk kelompok mereka membuat Nota Keberatan (Minderheidsnota). Tercatat ada 13 nama anggota DPR lintas fraksi yang menanda-tangani minderheidsnota tersebut, dan siap dibacakan saat Rapat Paripurna DPR pembahasan tingkat IV persetujuan RUU Migas menjadi undang-undang di gelar.

14.Pada 23 Oktober 2001 Forum Masyarakat Penolak RUU Migas diundang menjadi Peninjau dan yang ditempatkan di balkon ruang rapat paripurna DPR. Kelompok masyarakat ini telah menghitung hal kehadiran anggota DPR di rapat paripurna itu hanya 60 orang dari jumlah 480 anggota DPR. Akan tetapi Wakil Ketua DPR bidang Korinbang AM Fatwa (Fraksi Reformasi/PAN) sebagai pemimpin rapat paripurna, tetap saja melanjutkan rapat paripurna tersebut kendati tidak memenuhi kuorum.

15.Wakil Ketua DPR AM Fatwa sebagai pimpinan rapat paripurna nampaknya lebih dulu memberi kesempatan kepada Hartono Mardjono, SH. atasnama mewakili ke-13 nama anggota DPR lintas fraksi untuk membacakan minderheidsnota. Setelah dibacakan dengan linangan air matanya, oleh AM Fatwa rapat paripurna tetap dilanjutkan sesuai agenda tanpa perlu membahas nota keberatan yang sudah dibacakan oleh Hartono Mardjono, SH. Pada akhirnya, rapat paripurna secara mayoritas dari jumlah 60 anggota dewan yang hadir, menyetujui RUU Migas untuk diundangkan, dan AM Fatwa mengetok palu persetujuannya. Keriuhan pun sempat terjadi di balkon tempat Peninjau, dan unjuk rasa yang digelar eMPePe dari luar gedung DPR/MPR juga ikut memanas.

16.Dalam sambutan Menteri ESDM Purnomo yang diwakili Dirjen Migas Departemen ESDM Rachmat Soedibjo yang nampak begitu sumringah dan Direktur Utama Pertamina Baihaki Hakim yang menyambutnya dengan senang hati, setelah ketok palu persetujuan RUU Migas untuk menjadi undang-undang didengar, berulang kali mengucapkan terima kasih. Hasil rapat paripurna itu oleh Pimpinan DPR dikirimkan ke Pemerintah untuk mendapat pengesahan Presiden. Tapi sebelum RUU Migas disahkan menjadi UU No. 22 Tahun 2001 pada 23 November 2001 oleh Presiden Megawati, pada 6 November 2001 datang mendadak Menteri Industri dan Energi Inggris Brian Wilson ke Jakarta hanya untuk tujuan menyambut gembira atas disetujuinya RUU Migas menjadi undang-undang, yang dalam RUU jilid pertama (1999) versi Mentamben Kuntoro telah gagal oleh karena ditolak Fraksi ABRI dan oleh Kelompok 20 yang dikordinir Ir. Ramses Hutapea.

Demikian riwayat RUU Migas menjadi UU No. 22 Tahun 2001 yang dengan nyata mengandung banyak polemik dari sejak awalnya, sekalipun tak sedikit kucuran dana dan bantuan paket kebijakan dari pihak asing. Demikian juga yang mengundang banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat, karena RUU Migas dianggap secara nyata juga sangat bertentangan dengan amanat konstitusi sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Dimana produksi migas sebagai cabang produksi yang vital yang dikuasai oleh negara, menguasai hajat hidup orang banyak, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sudah final.



B.Implementasi UU Migas No. 22 tahun 2001

1.UU Migas No. 22 Tahun 2001 disahkan dan diberlakukan sejak 23 November 2001, yang secara otomatis tidak lagi memberlakukan UU Pertamina No. 8 Tahun 1971. Dan yang dalam perkembangannya mengalihkan status Pertamina dari bentuk Perusahaan Negara menjadi Perseroan, dilanjutkan dengan Presiden Megawati mengeluarkan PP No. 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina menjadi Perusahaan Perseroan.

2.Organisasi APHI, PBHI, Yayasan 324, SNB, SP KEP - Federasi SPSI Pertamina, Wakil Rektor II Universitas Kejuangan 45, gigih memperjuangkan gugatan UU Migas No. 22 Tahun 2001 untuk uji materi terhadap UUD 1945 kepada MK. Perkara No. 002/PUU-I/2003 yang cukup berproses panjang dalam persidangan, pada 24 Desember 2004 akhirnya oleh MK permohonan pemohon dikabulkan sebagian. Sebab Putusan MK Perkara No. 002/PUU-I/2003 itu menetapkan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai frasa diberi kepada menteri; Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai frasa paling banyak 25%; dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) sepanjang mengenai frasa mengikuti harga jual BBM dalam persaingan usaha yang sehat. Oleh MK ketiga pasal itu disebut bertentangan dengan Pasal 3 ayat (2) dan (3) UUD 1945.

3.Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan yang berpegang pada Peraturan Presiden (Perpres) SBY No. 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual BBM Untuk Dalam Negeri, kemudian per 1 Oktober 2005 Menteri ESDM Purnomo menaikkan harga jual BBM untuk Premium 87% dan Solar 105%, dengan alasan menyesuaikan nilai keekonomian mengingat lonjakan harga minyak dunia yang tinggi. Tapi Perpres No. 55 tahun 2005 pada realitanya, secara langsung menghantam rakyat untuk menerima kesulitan hidup tanpa Pemerintah melakukan persidangan di MK lebih dulu guna melihat kepastian fakta hukumnya. Sebab pada 24 Desember 2004 sudah MK memutuskan harga jual BBM mengikuti mekanisme persaingan usaha yang sehat (mekanisme pasar) yang dituangkan pada Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas No. 22 Tahun 2001, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 yang putusannya final serta berkekuatan hukum tetap dan mengikat.

4.Menteri ESDM Darwin Zahedi Saleh dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, yang menggantikan Purnomo Yusgiantoro karena diangkat menjabat Menteri Pertahanan. Nyaris tidak ada kegaduhan terkait subsidi BBM, sebab Zahedi Saleh tidak pernah mau mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM yang populis, dan Zahedi Saleh memang tetap menolak jika harga BBM mengikuti mekanisme pasar. Akan tetapi oleh karena sesuatu hal, Zahedi Saleh terkena reshuffle kabinet. Dan, Zahedi Saleh digantikan oleh Jero Wacik, sebelumnya Menteri Pariwisata dan Kebudayaan.

5.Menteri ESDM Jero Wacik dengan berpegang pada Prepres SBY No. 95 Tahun 2012 mengenai pengalihan tugas dan fungsi dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) ke Satuan Tugas Khusus Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), menyusul Jero Wacik pun menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No. 3135K/08/MEM/2012 mengenai pengalihan tugas, fungsi dan struktur organisasi BP Migas ke SKK Migas. Maka disini, baik Presiden SBY maupun Menteri ESDM Jero Wacik, bertindak dengan mengabaikan Putusan MK No. 36/PUU-I/2012.

6.Putusan MK itu hasil uji materi UU Migas No. 22 Tahun 2001 terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Ketua Umum PP Muhamadiyah Din Syamsudin, mantan Ketua Umum PB-NU Hasjim Muzadi, mantan Ketua MUI Amidhan, mantan Menakertrans Fahmi Idris, serta organisasi HTI, PUI, Al-Irsyad, dan Permusi pada 13 November 2012. Dinyatakan dengan jelas oleh MK dalam putusannya, bahwa beberapa pasal yang berkaitan dengan BP Migas itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Maka BP Migas pun dibubarkan.

7.Dari dialihkannya tugas dan fungsi BP Migas ke SKK Migas yang oleh Presiden SBY untuk menggantikan Kepala BP Migas R. Priyono, segera menunjuk Rudi Rubiandini menjadi Kepala SKK Migas setelah sebelumnya menjabat Wakil Menteri ESDM. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Kepala SKK Migas, Rudi pada 13 Agustus 2013 justru di tangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tertangkap tangan menerima suap dari PT Kernel Oil Limited. Penyelidikan KPK pun terus berlanjut, akhirnya KPK juga menetapkan Ketua Komisi VII DPR (Fraksi Partai Demokrat) Sutan Bhatoegana menjadi tersangka. Menyusul kemudian ketetapan KPK terhadap Menteri ESDM Jero Wacik, yang juga dijadikan tersangka.

8.Menteri ESDM Sudirman Said dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menggantikan Jero Wacik di KIB II Presiden SBY, membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) yang digawangi Faisal Basri dan yang memprioritaskan untuk tugas memberantas ‘mafia migas’, yang awalnya memperoleh respons bahkan apresiasi tinggi dari publik tetapi tidak lagi menjadi populer hanya karena Tim RTKM menyampaikan 2 rekomendasi berturut-turut. Yang mana dari penilaian publik, hal itu tidak lagi mencerminkan semangat pemberantasan mafia migas. Rekomendasi pertama yang menghapus Premium tanpa konsultasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof A Chaniago, yang pada konteks tata kelola migas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah (RPJM), sama sekali tidak tertuang penghapusan Premium. Yang ada hanya pengalihan subsidi dari sifatnya konsumtif ke produktif dengan prioritas untuk membangun infrastruktur. Termasuk Tim RTKM tidak mencabut lebih dulu SK Dirjen Migas Kementerian ESDM Edy Hermantoro No. 933.K/10/DJM.S/2013 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) BBM Jenis Bensin 88 (Premium) Yang Dipasarkan Di Dalam Negeri.

9.Rekomendasi Tim RTKM yang diterima Menteri ESDM Sudirman Said dan dilanjut ke Menko Perekonomian Sofyan Djalil, dengan alasan harga minyak dunia yang terus menurun maka begitu cepat menetapkan Premium sebagai jenis BBM yang disubsidi dihapuskan, untuk selanjutnya mengikuti harga jual keekonomian menyesuaikan harga minyak dunia. Memang patut disyukuri, karena harga minyak dunia yang terus turun, sehingga harga jual Premium yang mengikuti mekanisme pasar menjadi murah dan tidak terasakan. Namun jika harga minyak dunia rebound sebagai gerakan kembali dari penurunan harga minyak dunia menjadi harga yang seperti semula lagi, yaitu dengan asumsi ICP (Indonesia Crude Prize) sebesar US$ 105 per barel dalam APBN Perubahan 2014. Sudah barang tentu rakyat langsung menjerit, karena harga Premium jelas tidak akan mampu terjangkau oleh daya beli masyarakat yang masih rendah ini.

10.Baik Menteri ESDM Sudirman Said maupun Menko Perekonomian Sofyan Djalil yang dengan ringannya menyatakan ke publik bahwa harga jual BBM Premium mengikuti mekanisme pasar, sangatlah menyimpang dari Putusan MK dalam Perkara No. 002/PUU-I/2003, dengan pemahaman baik Menteri ESDM Sudirman Said maupun Menko Perekonomian Sofyan Djalil bertindak tidak berdasarkan konstitusi. Padahal janji Presiden Jokowi saat kampanye, dengan tegas dan berulangkali menyatakan akan patuh sama konstitusi dan tunduk sama rakyat. Tentunya sebagai pembantu Presiden, baik Menteri ESDM maupun Menko Perekonomian dalam menjalankan program ‘Nawa Cita’ Presiden Jokowi tidaklah menghapuskan janji presidennya untuk tidak patuh terhadap konstitusi.

Demikian ini bukti-bukti dari implementasi UU Migas No. 22 Tahun 2001 dalam mengatur tata kelola migas sejak Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM Jero Wacik dan sampai ke Menteri ESDM Sudirman Said, sudah terang benderang menggunakan ekonomi rezim liberalisme, bukan ekonomi kerakyatan. Dalam catatan terus terjadi penurunan lifting minyak tapi cost recovery setiap tahun di APBN selalu meningkat; Perbuatan birokrat di sektor migas tak kunjung berhenti melakukan praktek korupsi dan yang merebak kemana-mana karena adanya pembagian pekerjaan akibat diterapkannya sistem unbundling yang diberlakukan baik pada Pertamina; pada kewenangan SKK Migas yang diawasi Menteri ESDM sebagai Ketua Komisi Pengawas SKK Migas yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang berwenang hanya menunjuk penjual minyak, gas, LNG, LPG dan lainnya yang hasilnya menjadi bagian negara, tapi bukan lantas menjualnya sendiri, mengingat SKK Migas bukanlah Badan Usaha (BU).

C.UU Migas No. 22 tahun 2001 Belum Pernah Beres

1.UU Migas No. 22 Tahun 2001 sejak diundangkan yang turunannya dengan berbagai penyusunan beberapa PP, Keppres dan Kepmen ESDM sebagai pelaksana UU Migas tersebut, terbukti telah banyak menimbulkan ketidakpastian sebagaimana diharapkan rakyat dan yang sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2.UU Migas No. 22 Tahun 2001 dirasakan merugikan rakyat untuk beberapa tahun ke depan akibat menurunnya lifting minyak. Ini terjadi karena sebagian besar sumur-sumur minyak di Indonesia yang dikelola oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS), antara lain Chevron, ConocoPhilip, Pertamina, ExxonMobil, adalah sumur-sumur tua. Sementara pencarian sumur-sumur baru memerlukan investasi dan waktu yang cukup lama. Padahal cadangan baru minyak di Indonesia jika terbukti di eksplorasi melalui EOR (Enhaneed Oil Recovery), masih berpotensi 43,7 milyar barel;

3.UU Migas No. 22 Tahun 2001 gagal meningkatkan nilai setinggi-tingginya dari kekayaan berbagai produksi migas oleh penyerahan hak untuk menjual hasil-hasilnya tersebut ke pihak swasta;

4.UU Migas No. 22 Tahun 2001 telah mengaburkan status asset-asset negara yang terkait dengan investasi sistem Production Sharing Contrac (PSC) yang merupakan sistem ideal UU Pertamina No. 8 Tahun 1971 dan ditiru oleh Petronas asal Malaysia dengan diadopsi ke dalam Petroleum Development Act (PDA) 1974 dan berhasil maju pesat, dengan UU Migas memberlakukan sistem Kontraktor KKS jadi kabur;

5.UU Migas No. 22 Tahun 2001 gagal menarik investor migas yang memberlakukan perpajakan baru sebagaimana dimaksud Pasal 31 UU Migas No. 22 Tahun 2001, yang menutup berlakunya perpajakan “lex spicialis” yang berhasil diberlakukan saat menggunakan UU Pertamina No. 8 Tahun 1971;

6.UU Migas No. 22 Tahun 2001 gagal meliberalisasi migas yang diidamkannya, baik oleh karena faktor-faktor ekonomi maupun oleh Kebijakan Energi Nasional yang tidak komprehenship. Sebaliknya justru menuai maraknya perbuatan mafia migas akibat dari kontrol ekspor-impor minyak mentah atau BBM yang tidak terintegrasi. Padahal korporasi migas dunia sudah sejak lama mengikuti trend ‘merger’, seperti dibentuknya ExxonMobil, ConocoPhillip, TotalFina, ShellBP, sampai ke Chevron, yang justru terintegrasi dan makin menguat.

7.UU Migas No. 22 tahun 2001 menghancurkan ketahanan energi nasional, sekaligus akan mengancam kedaulatan migas yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Mengingat UU Migas No. 22 Tahun 2001 bukanlah kitab suci yang tidak boleh diubah. UUD 1945 saja yang sebelumnya dianggap sakral telah mengalami beberapa kali perubahan atau amandemen. Artinya, pencabutan terhadap UU Migas menjadi suatu keniscayaan atas pertimbangan pada sebuah tujuan mulia : (i) meningkatkan lifting minyak, dan (ii) menarik investor untuk menanamkan modalnya di bidang migas. Semua ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan termasuk mengenai legislasi dan regulasi yang mengatur mengenai kehutanan, lingkungan hidup, pelayaran, perpajakan,  perimbangan keuangan pusat dan daerah, penanaman modal, dan lain sebagainya, yang selama ini telah menghambat terwujudnya tujuan mulia tersebut tentunya harus segera dihapus.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun