(Tulisan ini sama persis dengan artikel yang saya tulis di blog saya yang lain).
“Apakah bekerja itu hanya berurusan dengan materi dan gaji?” tanya pak Kurnia. “Siapa yang berhak memberimu gaji? Atasan kamu atau Tuhan?”
Aku terpaku pada pertanyaan itu. Aku diam untuk beberapa saat. Sore itu, kami sedang duduk di tepi lapangan basket, dekat kantor kelurahan. Aku kerap menghabiskan sabtu sore yang senggang untuk mendiskusikan sesuatu di lapangan kecil itu. Bagiku, ini lebih bermakna dari pada harus pergi ke luar kota dan berhimpit-himpitan dengan ribuan kendaraan.
Aku pikir, aku pasti akan segera mendengarkan kalimat-kalimat dan pikiran yang mencerahkan yang keluar dari mulut pak Kurnia. Seperti biasanya.
“Mengapa orang memutuskan mengundurkan diri?”, tanyanya.
“Karena beban pekerjaan yang tidak sebanding dengan besaran gaji,” jawabku. Selama hampir kurang lebih 25 tahun pengalamanku bekerja, memang alasan itulah yang kerap masuk ke telingaku – sekaligus yang selalu aku jadikan alasan saat aku mengundurkan diri. Dari dulu seperti itu.
“Banyak orang memiliki anggapan bahwa bekerja adalah mencari nafkah. Itu tidaklah salah. Dulu, ketika saya masih muda, saya juga memiliki anggapan begitu. Sudah lima belas kali lebih saya keluar-masuk perusahaan, dan telah ratusan kali saya menerima email dengan subyek “My Last Working Day” dari teman-teman se-kantor dan anak-buah saya” pak Kurnia menggeser tempat duduknya. Seorang Ibu terlihat bersusah payah menyuapi anak laki-lakinya yang berlarian di lapangan kecil itu. ”Pada saatnya nanti, kamu mungkin akan memiliki pikiran yang sama dengan saya, bahwa imbalan bukanlah satu-satunya….”
Jujur, aku kagum pada pak Kurnia. Yang aku tahu dari orang-orang, Beliau adalah pegawai yang sukses. Ia memiliki beberapa rumah, kendaraan dan kontrakan. Namun, di usianya yang sudah kepala enam, ternyata semangatnya tak pernah surut!
Menurutnya, bekerja adalah proses mengabdikan waktu yang diberikan Tuhan. Di sela-sela waktunya menuntaskan pekerjaan paruh waktu yang terpaksa ia pilih karena faktor usia, ia masih bisa berbagi kisah inspiratif dan penuh semangat lewat kelompok/forum yang dimilikinya. Aku juga tahu, ia masih aktif memberikan tausiah dan kuliah umum atau menuliskan pikiran-pikiran positif di kumpulan artikel-artikelnya. Saya akui, tulisan-tulisan beliau mencerahkan dan sangat bagus. Sangat meng-inspirasi. “Demikianlah saya memaknai hidup dan melihat wujud bekerja,” katanya.
Aku sebenarnya menyimpan keinginan sangat kuat, jika aku sukses dalam kehidupan, aku ingin seperti pak Kurnia. Aku harus katakana hari ini, bahwa aku memang mulai menyukai diskusi-diskusi soal agama, teologi, filologi termasuk diskusi bagaimana harus meluruskan anggapan-anggapan masyarakat yang bengkok – dari pada menulis tentang pekerjaan.
Enam tahun silam – sebelum aku berumur 40 tahun, aku (mudah) merasa tertantang saat membaca job advertisement untuk posisi manager/lead atau sejenisnya. Apalagi jika pemasangnya adalah multinational company. Tetapi, sudah hampir enam tahun terakhir, aku tak lagi sibuk menengok dan me-update catatan resume-ku. Jumlah training & course attended yang jumlahnya sudah belasan, tak lagi bertambah sejak enam tahun terakhir.