Ini kisah tentang si teteh.
Aku selalu merasa tak tega ketika melihat banyak orang bahkan bapak-bapak berumur, yang genit menggoda si teteh. Namun, tak satu kesempatanpun aku melihat si teteh marah. Yang aku amati malah sebaliknya. Ia bahkan hampir selalu membalas dengan senyum paling manis yang ia punyai kepada banyak pelanggan yang menggodanya itu. Meski si teteh tak pernah memoles pipinya dengan bedak atau mengecat bibir tipisnya dengan gincu, tapi senyumnya tetap manis. Â
Kadang-kadang banyak orang suka jahil dengan menjentikkan jari atau memegang tangannya agak lama sambil terus memegang bungkus rokok. Tapi, ya itu tadi.. si teteh tak pernah marah.Â
Namun sungguh sayang, sejak beberapa hari terakhir, aku tidak melihatnya lagi.
Dari yang aku dengar, aku bisa tahu bahwa pelanggan-pelanggan yang kerap menggodanya setiap hari itu, begitu mengangeninya. Mereka pasti kangen melihat wajah si teteh dan berharap si teteh kembali melayani mereka menyuguhkan sarapan, menyeduhkan kopi, atau sekedar membukakan bungkus dan menjulurkan sebatang rokok filter. Jika si teteh membantu menyulutkan korek, maka ....suit.. suit.... Â Kalimat-kalimat nakal lalu menghambur keluar.
"Kemana dia ya bu?" tanyaku ke mpok Nuri, pemilik warung tempat si teteh bekerja selama ini. Warung mpok Nuri terletak di pojokan gang kecil, sekira 5 menit jalan kaki dari kosan saya. Jika ada 2 motor lewat, maka salah satu motor harus rela berhenti. Namun, meski kecil, banyak tukang-tukang yang bekerja di proyek pembangunan gedung pencakar langit mampir di warung itu. Aku pikir, mungkin karena si teteh lah, yang menjadi magnet sehingga warung bercat biru kusam itu selalu ramai.
Namun, sejak si teteh tidak ada, aku lihat warung mpok Nuri agak menyepi.....
"Sebelum pulang mudik kemarin, si teteh bilang, ia pamit tidak balik lagi ke Jakarta, pak, " kata mpok Nuri sambil tetap melayani pembeli. "Katanya, ia mau sekolah di balai kerja apa gitu. Saya tidak tahu. Katanya, Ia ingin bekerja di Taiwan......"
"Oooooohhhh....." hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku. Aku menyodorkan uang dan segera bergegas pulang. Â
Sepanjang jalan, cerita-cerita yang pernah keluar dari mulut si teteh seperti terdengar lagi. Aku sama sekali tak mengira, jika si teteh harus menjadi TKI. Semoga kamu berhasil ya teteh...harapku dalam hati. Â
Sejak si teteh bercerita kepadaku tentang keadaannya yang sebenarnya, entah kenapa aku tiba-tiba merasa iba dan menyayangkan nasibnya. Dia mengaku, sekarang dia-lah yang harus menjadi tumpuan keluarga. Dengan ijazah diploma dua-nya, aku lihat ia tampak terseok-seok hidup di Jakarta. Sayang sekali, dengan pendidikan yang lumayan dan paras yang cantik, ia rela menjadi pembantu warung.